Ketentuan Air Musta'mal dalam Syariat Islam








Penulis meminjam beberapa buku terjemahan kitab yang menjelaskan pengertian ‘air musta’mal’. Salah satunya adalah terjemahan Taqrib Dalil oleh Drs. H. Aliy As’ad yang diterbitkan Menara Kudus. Dari terjemahan tersebut muncullah pemahaman bahwa air musta’mal adalah air suci yang telah digunakan untuk menghilangkan najis atau mensucikan hadats sehingga tidak dapat dipakai lagi untuk bersuci.


Hadit yang menjelaskan bahwa hukum air musta’mal suci adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhary dan Muslim dari Jabir bin Abdillah ra. Ia berkata: Rasulullah SAW datang dan menjengukku ketika aku sedang sakit tak sadarkan diri (karena parahnya). Kemudian beliau berwudhu dan menyiram aku dengan air (yang telah beliau pakai) wudhu.” Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa air tersebut masih bersifat suci.


Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa air musta’mal tidak dapat dipakai lagi untuk bersuci adalah hadits riwayat Muslim dll. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda:


لَيَغْتَسِلُ اَحَدُكُمْ في الْماَءِ الدَّاءِمِ وَهُوَجُنُبٌ


“Janganlah seseorang dari kalian mandi di air yang diam (tidak mengalir), sedang ia dalam keadaan junub.”


Ketika orang-orang menanyakan: ”Wahai Abu Hurairah, lantas bagaimana ia harus berbuat,” Beliau menjawab: “Dengan menceduk.” Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa air tersebut akan kehilangan sifat ‘mensucikan’ jika mandi dengan cara menceburkan diri karena air yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah air yang sedikit. Begitu juga dengan menggunakan air tersebut untuk berwudhu dimana berwudhu dimaksudkan untuk mensucikan hadats.


Loh? Air musta’mal tidak dapat dipakai lagi? Lalu bagaimana dengan desa-desa kekeringan sehingga kesulitan mendapatkan air untuk bersuci?. Penulis membuka buku terjemahan yang lain. Ada buku Kang Santri yang disusun oleh Kodifikasi Angkatan Santri 2009 dan diterbitkan oleh Lirboyo Press. Ternyata ada penjelasan mengenai diperbolehkannya air musta’mal dipakai kembali untuk bersuci. Hal ini menurut pendapat Imam Zuhry, Imam Malik, dan Imam Al-Auza’i serta pendapat Imam Ibn Al-Mundzir. Dengan referensi :


مكتبة مطبعة المنيرية المجموع شرح المهذ ب الجزء 1 صح:206


Masih ada buku terjemahan Fathul Qarib Ibnu Al Ghazi yang ditahqiq oleh Bassam Abdul Wahhab Al Jabi dan diterjemahkan Misbah dan diterbitkan oleh Pustaka Azzam. Mataku menangkap sebuah kata “ الْمُتَغَيِّرُ" yang berarti air yang berubah salah satu sifatnya. Kemudian di buku tersebut terdapat juga redaksi “بِمَ خاَلَطَهُ مِنَ الطّاهِرَاتِ” dengan barang suci yang mencampurinya” sehingga ia suci tapi tidak mensucikan.


Namun di buku sebelumnya (Kang Santri) dijelaskan bahwa “ الْمُتَغَيِّرُ” adalah air yang salah satu sifatnya berubah sampai menghilangkan kemutlakan nama air dan hukumnya suci tapi tidak mensucikan seperti air teh, air susu, atau air kuah. Berbeda lagi hukumnya jika perubahannya hanya sedikit sehingga hanya disebut air yang tercampur susu atau air yang beraroma teh, sehingga tidak sampai disebut air susu maupun air teh. Demikian juga dengan air yang berubah karena unsur tertentu yang mencampurinya dan tidak dapat dihindari seperti: air kolam yang berubah warna maupun baunya karena banyaknya daun yang membusuk, maupun disebabkan oleh lumut, tanah dan lumpur.

Baca Juga

Komentar