Menurut Syamsuddin Abu Abdillah dalam Terjemah Fathul Qorib, siwak ialah alat-alat yang terbuat dari kayu arak dan sebagainya. Sedangkan dalam buku karangan Ahla Shuffah, Kamus Fiqih, menurut istilah fiqih bersiwak adalah menggunakan alat-alat siwak pada bagian gigi dan sebagainya.
Siwak disunnahkan pada setiap keadaan, dan tidak makruh hukumnya kecuali tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa, baik fardu maupun sunah. Hukum makruh akan berakhir dengan terbenamnya matahari. Sementara Imam Nawawi memilih pendapat tidak makruh secara mutlak. Dalam buku karangan Aliy As’ad. Taqrib Dalil, berdasarkan hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw bersabda:
لخلو ف فم الصا ئم اطيب عند الله من ر يح المسك
Artinya:”sungguh bau mulut (dari) mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari pada harumnya misik”.
Hadits ini menunjukkan perintah untuk mempertahankanya. Maka makruh menghilangkanya. Disunnahkan niat untuk kesunnahan dengan siwak. Cara siwak, menggunakan tangan kanan, memulai dengan arah kanan dan menjalankan siwak pada langit-langit mulut dengan lembut dan gigi gerahan.
Berdasarkan hadits:
لو لا ان اشق على امتى لأ مر تهم با لسواك مع كل وضوء(رواه البخا رى)
Artinya:”Seandainya tidak khawatir memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu”. (HR. Bukhari).
Menurut Syamsudin, siwak menggunakan kayu arok lebih utama, karena mengikuti Nabi SAW. Serta kayu arok memiliki rasa dan bau yang enak, dan serabut-serabut kecil yang membersihkan gigi. kriteria perkara yang digunakan untuk siwak yaitu segala sesuatu yang kasar dan dapat menghilangkan kerak kuning pada gigi serta suci.
Komentar
Posting Komentar