PEMANFAATAN EMAS YANG DIPERBOLEHKAN
Emas dalam
syariat islam diperbolehkan untuk perhiasan. Perhiasan yaitu sesuatu yang dapat
memperindah sesuatu yang lain, dalam kajian hukum islam, perhiasan diartikan
sebagai benda-benda yang indah dan bernilai yang dapat mempercantik diri
seperti pakaian, bejana, rumah, dinding, dll. Dengan tujuan agar dapat dipandang
cantik, indah, dan menarik. Dalam istilah al Qur’an disebut dengan ziinah (perhiasaan).
Hukum memakai
perhiasan pada dasarnya, perhiasan dalam arti mempercantik diri agar orang lain
senang memandang adalah diperbolehkan. Hal ini sudah jadi kesepakatan ulama
fiqih, dengan alasan bahwa perhiasan merupakan bagian dari kebersihan diri dan
lingkungan yang disukai oleh Allah SWT, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam ayat
yang artinya: “… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri”(QS.2:222). Perhiasan yang mereka
maksudkan adalah perhiasan yang dibolehkannya menurut syariat islam.
Perhiasan emas
yang dimaksud di sini ialah logam mulia atau murni yang memiliki nilai tinggi,
berwarna kuning mengkilap dan biasa dibuat perhiasan. Secara umum alqur’an dan jumhur
fuqaha membolehkan setiap orang memakai pakain yang bagus-bagus termasuk
memakai perhiasan yang dapat mempercantik diri seperti cincin, anting-anting,
kalung atau gelang (menurut pendapat jumhur fuqaha) adalah haram bagi kaum
pria, tetapi tidak diharamkan bagi kaum wanita.
Kebolehan
berhias diri dengan emas bagi kaum wanita (menurut jumhur fuqaha) hanya pada batas-batas
kewajaran. Artinya pemakaian tidak terlalu banyak atau berlebihan karena
menurut mereka hal itu memberi kesan adanya rasa sombong atau pamer kekayaan.
Sikap sombong atau pamer kekayaan dalam ajaran islam adalah hal yang tidak
disukai Allah SWT. Seperti dijelaskan-Nya dalam ayat yang artinya:
”… Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”(QS.4:36).
Fuqaha dari
madzhab Hanafi menetapkan ukuran kewajaran itu dengan ukuran dibawah satu
misqal (2,975 gram) emas atau perak. Fuqaha dari madzhab Maliki menetapkannya
dengan ukuran tidak lebih dari dua dirham. Madzhab Syafi’i menetapkan pada
ketetapan adat kebiasaan (‘urf). Jika adat mengatakan banyak, maka
dipandang banyak, sebaliknya jika menurut adat sedikit, maka dipandang sedikit.
Selain
menetapkan pemanfaatan emas itu diperbolehkan, fuqaha juga sepakat menetapkan
haram hukumnya memakai bejana yang terbuat dari emas dan perak. Seperti yang
tertulis dalam kitab fathul qarib:
(فَصْلٌ)
وَلاَيَزُوزُاسْتِعْماَلُ اَوَانَىِ الَذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ,
وَىَزُوزُاسْتِمَالُ غَيْرِ هِمَامِنَ الاوَانِي.
(fasal). Pemakaian bejana-bejana yang terbuat dari emas dan
perak tidak diperbolehkan 1), sedangkan pemakaian bejana-bejana yang lain
selain dari keduanya tersebut diperbolehkan 2).
Keterangan: 1). Untuk pemakaian lain (selain makan dan minun) diqiaskan dengan
makan dan minum itu sama dengan haram. Keharaman ini berlaku bagi laki-laki dan
perempuan. 2). Karena bejana-bejana tersebut suci. Segala sesuatu pada asalnya
adalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya.
Oleh karena itu
tidak dibolehkan seseorang minun dari gelas dan makan dari piring emas dengan
alasan hadist Nabi SAW:”Janganlah kamu minum dari bejana emas dan perak, dan
janganlah kamu makan dengan piring yang dibuat dari keduanya, karena
bejana-bejana itu untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kamu di
akhirat”(HR. muttafaq ‘alaih [al bukhori dan muslim]). Diharamkan pula
memakai bejana dari emas dan perak atau yang dipoles dengan emas, juga
diharamkan memakai jam tangan atau pena, kaca cermin, anak kunci,
bingkai-bingkai lukisan, dan alat-alat lain yang dibuat atau dipoles dengan
emas.
Akan tetapi
menurut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali, tidak mengapa kalau emas
dan perak dijadikan pematri bejana (wadah) yang pecah atau berlobang, karena
hal itu termasuk kebutuhan. Jika emas dan perak boleh digunakan untuk pematri
bejana yang pecah karena alasan kebutuhan, maka melapisinya dengan keduanya
agar tahan dibakar api juga dibolehkan karena kebutuhan. Tetapi jika masih
ditemukan benda lain yang dapat digunakan untuk menambal atau melapisi bejana
tersebut, maka tidak dibolehkan dengan emas dan perak.
Imam Syafi’I
berkata: saya tidak memandang makruh bejana yang terbuat dari batu, besi,
tembaga, dan sesuatu yang tidak bernyawa. Adapun emas dan perak saya memandang
makruh bagi seseorang yang berwudlu dan meminum dari bejana emas atau perak,
namun saya tidak memerintahkannya untuk mengulangi wudlu. Saya tidak
berpendapat bahwa air yang diminum dan makanan yang dimakan itu haram, hanya
saja perbuatannya itu dikategorikan maksiat.
Jadi,
pemanfaatan emas yang diperbolehkan itu jika emas tersebut digunakan untuk
perhiasan yang tujuannya untuk mempercantik diri dan memakainya sesuai dengan
ukuran kewajaran yang telah ditentukan, yang boleh memakai perhiasan hanya bagi
kaum wanita seperti cincin, gelang, kalung, dll. Yang diharamkan oleh syariat
islam yaitu pemanfaatan emas untuk membuat bejana atau semacamnya. Diperbolehkan
penggunaan emas untuk bejana tersebut jika sangat dibutuhkan dan tidak ada
penggantinya selain emas dan perak.
Nama : Maylan Nabila
NIM : 15.10.1006
Semester : II PAI C
Mata Kuliah : Fiqih I
Dosen Pengampu : M. Nasrudin M.S.I
E-mail : maylannabila22@gmail.com
Komentar
Posting Komentar