![]() |
Muwalah dalam syariat Islam dapat diartikan berkesinambungan dalam wudlu tanpa adanya hal atau kegiatan yang membatasinya. Menurut guru saya (bapak Badar Suyuthi) yaitu ketika seseorang melakukan wudlu harus urut tanpa adanya hal ataupun kegiatan yang membatasinya sesuai dengan urutan-urutan atau rukun-rukun wudlu. Adapun rukun-rukun wudlu itu sebagai berikut: niat, membasuh wajah, mengusab kedua tangan beserta kedua siku-siku, mengusab sebagian kulit atau rambut kepala, membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki, dan yang terakhir tertib (berurutan)[1]
Yang dimaksud dengan muwalah disini yaitu harus berkesinambungan antara basuhan wudlu satu dengan basuhan wudlu yang lain atau dengan kata lain ketika melakukan wudlu itu tidak boleh diselingi dengan kegiatan apapun, seperti ketika membasuh muka tidak boleh diselingi dengan bicara setelah itu diteruskan kembali wudluya. Adapun hukum melakukan kegiatan tersebut wudlunya menjadi tidak sah, karena salah satu rukun wudlu seperti yang telah disebutkan diatas harus tertib atau berurutan.
Menurut buku Fiqih Empat Madzhab, muwalah itu mempuyai hukum sendiri-sendiri sesuai dengan madzhabnya. Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i muwalah (berturut-turut tanpa menyelingi dengan perbuatan lain) dalam wudlu itu sunnah. Menurut madzhab Maliki dan Hambali muwalah itu hukumnya wajib. Empat imam madzhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali) sepakat bahwa mengeringkan anggota wudlu tidak disunnahkan dan tidak dimakruhkan.
Maka pada kesimpulannya bahwa rukun wudlu yang muwalah (berkesinambungan dalam wudlu) itu tidak boleh diselingi dengan kegiatan apapun. Adapun hukum muwalah itu wudlunya tidak sah, karena salah satu rukunnya wudlu itu harus tertib.
[1] Tim Kajian Ilmiah Ahla_Shuffah 103, Kamus Fiqih, (Kediri: Lirboyo Press,2013), hal. 231.
NAMA :FARIDATUL MUNAWAROH
NIM :15.10.1000
KELAS :2 PAI C
MAKUL :FIQIH I
DOSEN PENGAMPU :M. NASRUDDIN, SHI, MH
KELAS :2 PAI C
MAKUL :FIQIH I
DOSEN PENGAMPU :M. NASRUDDIN, SHI, MH
Komentar
Posting Komentar