Selamatan Seratus Hari Setelah Kematian
















Memperingati seratus hari dan seribu hari setelah kematian merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman Nabi Muhammad bahkan tradisi selamatan untuk orang meninggal bukan hanya di Jawa dan Indonesia, tetapi di Mesir, Mekah dahulu juga ada sebelum masuknya golongan wahabi yang menguasai pemerintahan Arab Saudi. Menurut ulama besar Jawa yang tepatnya di daerah Banten dan belajar di Mekah dalam kitabnya Nihayah Az-Zain menegaskan bahwa:


وَالتَّصَدُّقُ عَنِ الْمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يَتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِي سَبْعَةِ أَيَّا مٍ أَوْأ َكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ وَتَقْيِيْدُهُ بِبَعْضِ اْلأَ يَّامِ مِنَ اْلمَوَاءِدِ فَقَطْ كَمَا أَفْتَى بِذَالِكَ اَلسَّيِّدُ أَحْمَدَ دَ حْلاَ نَ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِا التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ فِيْ ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِيْ سَا بِعٍ وَفِيْ تَمَا مِ الْعِشْرِيْنَ وَفِي اْلأَرْبَعِيْنَ وَفِي الْمِاءَةِ وَبَعْدَ ذَا لِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًافِيْ يَوْمِ اْلمَوْتِ كَمَا أَفَادَهُ شَيْخُنَا يُوْسُفُ اَلسُّنْبُلَا وِيْنِيُّ


“Dan bersedekah kepada mayit dengan bentuk yang diperbolehkan syara’ dianjurkan, dan waktunya tidak tergantung kepada 7 (tujuh) hari, lebih banyak atau lebih sedikit, sedangkan ketentuan dengan sebagian hari hanyalah merupakan kebiasaan yang berlaku, sebagaimana yang berlaku, sebagaimana yang difatwakan oleh Syaikh Ahmad Dahlan. Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat; bersedekah bersedekah kepada mayit pada hari ketiga (3) setelah meninggalnya seseorang, hari ketujuh (7), hari kedua puluh (20), hari keempat puluh (40) dan hari keseratus (100), dan setelah itu diadakan setiap tahun tepat pada hari kematiannya, demikian seperti yang dijelaskan oleh Syaikh kita Yusuf As-Sumbulawini.”


Sudah dijelaskan di atas bahwa memperingati seratus hari dan seribu hari setelah kematian seseorang itu dianjurkan dan juga sebagai tradisi masyarakat indonesia yang rata-rata berkembang pada golongan Nahdlatul Ulama dalam memperingati hal tersebut. Tradisi yang berkembang di masyarakat ini tidak bertentangan dengan syari’at islam karena berdasarkan kaidah ushul fiqh,


الْعَا دَةُ اْلمَطَّرِدَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ اْلحُكْمِ


“tradisi yang telah berlaku dan mapan di tengah masyarakat itu kedudukannya seperti hukum”


Memperingati seratus dan seribu hari kematian seseorang sudah menjadi tradisi maka setiap perseorangan dianjurkan untuk melestarikan tradisi tersebut, apabila seseorang yang melanggar tradisi masyarakat itu merupakan hal yang tidak baik asalkan tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama/tidak menyimpang dari ajaran agama.


Dalam referensi lain juga menjelaskan dalam hadits bahwa Rasul juga melaksanakan tradisi peringatan haul setiap tahunnya, yang berbunyi:


قَا لَ الْوَ اقِدِى وَكَا نَ رَسُوْلُ اللَهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم يزورقتلى أحدفى كل حول وإذا لقا هم با لشعب رفع صوته يقول السلا م عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الداروكا ن أبوبكر يفعل مثل ذا لك وكذا لك عمربن الخطاب ثم عثمان. وفى نهج البلا غة­ - إلى أن قا ل – وفى مناقب سيد الشهداء حمزة رضي الله عنه للسيد جعفر البرزنجى قال: وكان عليه الصلاة والسلا م يأ تى قبور الشهداء على زأس كل حول – إلخ.


“Al-Waqidi berkata: Rasul mengunjungi makam para pahlawan uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat pemakaman mereka), Rasul agak keras berucap: Assalaamu’alaiukum bima shabartum fani’ma ‘uqba ad-dar (semoga kalian semua selalu beroleh kesejahteraan atas kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar, Utsman, juga melakukan hal yang serupa. Sampai kata-kata… dalam manaqib Sayyid Asy-Syuhada Hamzah bin Abi Thalib yang ditulis oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanjy, dia berkata:Rasulullah SAW mengunjungi makam syuhada uhud setiap awal tahun.”(Al-Kawkib Ad-Durriyah, Juz I., Hlm. 32).


Jadi, tradisi memperingati seratus hari dan seribu hari setelah kematian seseorang itu hukumnya dianjurkan dalam agama asalkan tidak melanggar ajaran syari’at islam. Jika ada orang yang membid’ahkan maka kita harus membuka kembali hadits yang dikemukakan di atas.







Referensi:
Damanhuri. Akidah Kaum Santri Yogyakarta:Assalafiyyah Press, 2012
Hanif, Muslih, Muhammad. Bid’ah Membawa Berkah Semarang:PT. Karya Toha Putra, 2013.
Kristeva, Nur, Sayyid, Santoso. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014
Saifuddin, Chalim, Asep. Membumikan Aswaja Pegangan Para Guru NU Surabaya:Khalista 2012

Baca Juga

Komentar