Sahkah Salat Makmum yang Beda Niat dengan Imam?






Bagaimana hukum shalatnya jika imam dan makmum berbeda niat dalam shalat berjamaah? Bagaimana pendapat para Ulama mengenai hal ini?

Setiap menetapkan suatu hukum dalam bidang fiqih pasti ada pendapat atau pandangan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya,. Ada yang berpendapat seperti ini dan ada juga yang berpendapat seperti itu. Satu sama lainnya saling menguatkan pandangannya atau pendapatnya dengan alasan atau argument masing-masing. Begitu pula dengan pandangan para ulama mengenai “hukum shalatnya antara imam dan makmum berbeda niat dalam shalat“. Ada yang menetapkan bahwa shalat itu tetap sah, tetapi ada juga yang menetapkan bahwa shalatnya tidak sah.

Ahmad Nashir[1] menjelaskan bahwasannya hukum shalat jika antara imam dan makmum berbeda niatan dalam shalat itu tetap sah atau diperbolehkan. Beliau merujuk pada Kitab Fathul Wahhab halaman 118, karangan Zakariyah Al-Anshori yang diterbitkan oleh Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah.

Dalilnya yaitu:

(وَ) خَا مِسُهَا (تَوَافُقُ نَظْمِ صَلَا تَيْهِمَا) فِي اْلأَ فْعَالِ الظَاهِرَةِ (فَلَا يَصِّحُّ) اَلْإِقْتِدَاءُ (مَعَ اِخْتِلَا فِهِ كَمَكْتُوْبَةٍ وَكُسُوْفٍ أَوْ

جَنَازَةٍ) لِتَعَذُّرِالْمُتَابَعَةِ. (وَيَصِّحُ) اَلْإِقْتِدَاءُ (لِمُؤَدٍّ بِقَاضٍ وَمُفْتَرِضٍ بِمُنْتَفِلٍ وَفِي طَوِيْلَةٍ بِقَصِيْرَةٍ) كَظُهْرٍ بِصُبْحٍ (وَبِالْعُكُوْسِ) أَيْ لِقَاضٍ بِمُؤَدٍّ وَمُنْتَفِلٍ بِمُفْتَرِضٍ وَفِي قَصِيْرَةٍ بِطَوِيْلَةٍ،[2]

Terjemahannya:

“Diantara syarat sahnya shalat jamaah yaitu antara imam dan makmum melakukan shalat yang sama dalam bentuk gerakan shalat (afngal dhohir). Maka tidak sah makmum terhadap orang yang beda gerakan dalam shalatnya seperti shalat Fardlu makmum terhadap shalat Gerhana. Dan sah jamaahnya orang yang melakukan shalat Ada’ (shalat yang dilakukan tepat pada waktunya) makmum terhadap orang yang sedang shalat Qodlo’, orang yang shalat Fardlu makmum terhadap orang yang shalat Sunnah..........dan seterusnya.”

Jadi penjelasan dari dalil tersebut adalah diperbolehkan seseorang itu berjamaah dengan orang lain yang imam tersebut niat shalat Sunnah sedangkan kita sebagai makmum niat shalat Fardlu. Tetap sah dan diperbolehkan. Karena apa? Karena gerakannya antara imam dan makmum sama. Ketika imam ruku’, makmum juga ikutan ruku’. Ketika imam sujud, makmum juga ikut sujud. Ketika imam baca surat Al-Qur’an, maka makmum juga ikut baca surat al-Qur’an. Jadi ya diperbolehkan. Karena gerakan antara imam dan makmum sama. Tetapi jika kita makmum dengan orang yang dia shalat Isya’, sedangkan kita shalat Gerhana maka itu tidak diperbolehkan dan tidak sah. Karena pelaksanaannya antara imam dan makmum berbeda. Bedanya yaitu kalau shalat Isya’ gerakan ruku’nya ada 4 kali. Sedangkan kalau shalat Gerhana ruku’nya ada 2 kali. Karena berbeda, maka tidak sah.

Perlu diketahui juga bahwasannya seseorang yang berniat menjadi imam, tidak wajib niat menjadi imam ketika shalat. Tetapi yang menjadi makmum, maka dia wajib berniat menjadi makmum. Maksudnya begini, karena awalnya tidak ada orang yang ingin shalat berjamaah dengan dia di masjid, maka dia niat shalat sendiri. Tetapi tiba-tiba dia ditepuk oleh seseorang yang datang di belakang yang berniat menjadi makmumnya. Maka imamnya tidak wajib mengubah niatannnya menjadi imam. Tanda tepukkan tersebut hanya untuk memberitahukan kepada imam bahwa ada orang yang menjadi makmumnya di belakang. Sehingga misalnya ketika itu dia sedang sholat Maghrib (sholat Jahr) sendirian, ketika shalat sendirian kan suaranya hanya terdengar dirinya sendiri, tetapi ketika ada yang menepuk pundaknya untuk menjadi makmumnya, tepukkan itu bisa menjadi tanda untuk dia supaya mengeraskan suaranya, karena ada orang yang menjadi makmum di belakangnya. Tetapi sekali pun kita tidak menepuk pundaknya untuk niat berjamaah dengan dia karena imam kita seorang lelaki, yang nantinya ketika kita menepuk pundaknya takut timbul fitnah dan akhirnya kita tidak menepuknya, maka sholat kita tetap sah, yang terpenting kita berniat menjadi makmum (wajib). Jika kita tidak berniat menjadi makmum, maka kita dianggap shalat sendirian bukan shalat berjamaah. Dan yang terpenting juga meskipun kita tidak menepuk pundaknya, asalkan bisa melihat gerakannya dan mendengar suara imam maka shalat kita tetap sah.

Dalam Kitab Fathul Wahhab ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang tetap memperbolehkan sholat berjamaah meski pun niatan antara imam dan makmum berbeda dalam shalat. Ulama yang memperbolehkan dalam kitab ini adalah Syeikh Zakariyah Al-Anshori. Bahkan menurut beliau sekali pun makmum itu sudah mengetahui kalau yang dijadikan imam itu beda niatan dengan dia, maka shalatnya tetap sah. Tanpa harus mengulangi lagi shalatnya.

Kitab Fathul Wahhab ini adalah kitab yang sesuai dengan kitab Mazhab Syafi’i. Sehingga sudah jelas bahwa Imam Syafi’i juga memperbolehkan shalat berjamaah meski pun antara imam dan makmum berbeda niatan dalam shalat.

Lalu apa syarat yang memperbolehkan berjamaah dengan imam yang berbeda niatan dengan makmum?

Syaratnya yaitu shalat Sunnah yang dilakukan oleh imam adalah shalat Sunnah yang memiliki gerakan yang sama dengan gerakan shalat Fardlu. Contohnya yaitu shalat Sunnah Rawatib (Qabliyah dan Ba’diyah). Jadi ketika ada imam yang berniat shalat Sunnah Rawattib dan makmumnya niat shalat Fardlu dan meraka berjamaah, maka shalat mereka tetap sah. Misalnya ketika kita baru pergi atau baru berada di Malioboro. Ternyata sudah masuk waktu untuk shalat Dhuhur. Kemudian kita mencari masjid terdekat untuk shalat. Dan ketika kita masuk ke dalam masjid ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang sedang melaksanakan shalat juga di masjid itu. kemudian kita menepuk pundaknya karena ingin berjamaah dengan dia. Tetapi kita tidak tahu perempuan itu niatnya shalat apa? Apakah shalat Fardlu atau shalat Sunnah? Kita tidak tahu karena setelah selesai shalat perempuan tadi langsung pergi dan tidak memberitahu juga kepada kita dia sholat apa, karena kita tidak tahu, maka sholat berjamaah yang kita lakukan tadi tetap sah dan dimakfuw (dimaafkan). Segala sesuatu yang hukumnya kita tidak tahu maka dimaafkan, karena tidak ada hukumnya.

Tetapi bagaimana jika tiba-tiba setelah kita selesai shalat, orang yang kita jadikan imam tadi berbicara kepada kita kalau dia shalat Sunnah bukan shalat wajib. Maka bagaimana sebaiknya? Apakah kita harus mengulangi lagi shalatnya? Atau kita tidak usah mengulanginya lagi?

Kalau kita sudah mantap berjamaah dengan dia ya tidak diulangi lagi juga tidak apa-apa. karena menurut Imam Syafi’i itu diperbolehkan dan sudah sah shalatnya. Tetapi kalau kita merasa ragu-ragu, lebih baik ya disunnahkan untuk mengulangi lagi saja shalatnya. Daripada merasa ragu-ragu dengan hal itu. Alangkah baiknya ya diulangi. Nah Shalat yang kita ulangi lagi ini dinamakan dengan shalat ‘Ingadah. Shalat ‘Ingadah adalah shalat ulangan. Bagaimana niatannya apakah niatnya sama dengan shalat Fardlu ? Atau ada yang berbeda?

Niatnya memang tidak berbeda dengan niat sholat Fardlu. Hanya saja ketika kita niat shalat Fardlu maka perlu ditambahi kata ‘Ingadah. Tepat pada kata Adha’ diganti dengan kata ‘Ingadah. Karena niat kita mengulang. Jadi ya diganti‘ingadah bukan kata Ada’. Dimana penambahannya? Yaitu seperti ini الْقِبْلَةِ اِعَدَةَ لِلّهِ تَعَالَى dan setelah itu bacaan serta gerakan sholatnya sama seperti sholat Fardlu. Contoh niatnya misalnya kalau kita niat shalat Dhuhur kalau seperti yang kita kerjakan niatnya kan begini:

اُصَلِى فَرْضَ الظُهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً لِلّهِ تَعَالَى

Tetapi kalau kita niatnya mengulang shalat Fardlu tersebut, maka niatnya menjadi:

اُصَلِى فَرْضَ الظُهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اِعَدَةَ لِلّهِ تَعَالَى

Jadi kata اَدَاءً diganti kata اِعَدَةَ .

Mungkin kita juga pernah lupa dengan niat shalat yang akan kita lakukan dan akhirnya tertukar niatnya. Misalnya seharusnya niat shalat Dhuhur, tetapi malah lupa niatnya niat shalat Ashar. Hal ini biasanya terjadi karena baru bangun tidur dan terbangunnya setelah mendengar suara adzan. Sehingga bangunnya (‘grageban’: dalam Bahasa Jawa) lupa waktu dan langsung berwudhu dan ikut shalat berjamaah di masjid. Dikiranya sudah adzan Ashar tetapi ternyata baru adzan Dhuhur. Sehingga niatnya malah niat shalat Ashar. Bukan shalat Dhuhur. Ketika kita sudah ingat dipertengahan shalat bahwa niat kita tadi salah, maka shalatnya harus dibatalkan dan segera merubah niat kembali untuk shalat. Untuk seorang imam shalatnya tetap sah, tetapi bagi makmum maka harus mengulangi lagi shalatnya karena niatnya tadi salah. Tetapi jika sampai berakhirnya shalat belum juga ingat, dan setelah itu sama sekali tidak ingat, maka hal itu dimakfuw (dimaafkan).

Penjelasan yang lain menurut Ning Upik[3] mengenai imam dan makmum berbeda niat dalam shalat yaitu hukum sholatnya sah meskipun antara imam dan makmum berbeda niatan dalam sholat, tetapi disebut sebagai jamaah Fakhilaqul Aula. Apa itu jamaah Fakhilaqul Aula? Jamaah Fakhilaqul Aula yaitu jamaah yang tidak mendapatkan kesunnahan jamaah. Maksudnya yaitu sholatnya tetap sah dan tidak makruh, tetapi dia tidak mendapatkan kesunnahan jamaah. Kesunnahan jamaah itu didapat jika antara imam dan makmum sama baik niat maupun gerakannya shalatnya. Beliau merujuk pada Kitab Bairut Ingayatul Thalibin, halaman 6, karangan Abi Bakar Utsaman Bin Muhammad Syatho’ Ad Diniyati Al-bakhri dan diterbitkan oleh DKI Darul ‘Alamiyyah.

Dalilnya yaitu:

اِنِ اتَّفَقَتْ مَقْضِيَةُ الاِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ سُنَّتَ الْجَمَعَةُ، وَاِلاَّ فَخِلَا قُ الْأَوْلىَ كَأَدَءٍ خَلْفَ قَضَاءِ، وَعَكْسِهِ، وَفَرْضٌ خَلْفَ نَغْلٍ، وَعكْسِهِ، وَترَاوِيْحُ خَلْفَ وِتْرٍ، وَعَكْسِهِ.[4]

Terjemahan:

“Ketika antara imam dan makmum sama-sama melakukan shalat yang sama, maka disunnahkan untuk berjamaah, dan ketika antara imam dan makmum tidak melakukan shalat shalat yang sama, maka jamaah tersebut disebut sebagai Fakhilaqul Aula ( jamaah yang tidak mendapatkan kesunnahan dalam berjamaah) seperti halnya shalat Ada’ di belakang shalat Qodlo’ atau sebaliknya, melakukan shalat Fardlu di belakang shalat Sunnah atau sebaliknya, melakukan shalat Terawih di belakang shalat Witir atau sebaliknya.”

Penjelasan dari dalil tersebut yaitu missal ketika di masjid ada 2 orang yang melakukan shalat berjamaah, maka dia mendapatkan kesunnahan shalat berjamaah itu. Seseorang bisa mendapatkan kesunnahan shalat berjamaah jika imam dan makmum melakukan shalat yang sama. Maksudnya ketika imam niat shalat Dhuhur dan makmum juga berniat sholat Dhuhur. Itu yang disebut shalat yang sama (condong=sesuai). Imam melakukan gerakan ruku’, sujud, makmum juga melakukan hal yang sama sesuai dengan gerakan imam. Jadi keduanya saling cocok satu sama lainnya. Kemudian jika antara imam dan makmum tidak sama baik niat maupun gerakannya, maka dia tidak bisa mendapatkan kesunnahan jamaah (Fakhilaqul Aula). Contoh dari Fakhilaqul Aula adalah shalat Fardlu makmum dengan orang yang shalat Sunnah seperti halnya shalat Adha’ makmum di belakang orang yang sedang melakukan shalat Qodlo’. Maksudnya begini misalnya saya sholat Fardlu, tetapi saya makmum kepada seseorang yang sedang shalat Qodlo’ atau shalat Sunnah. Atau missal saya shalat Terawih, makmum kepada imam yang shalat Witir, atau sebaliknya. Maka shalat yang saya lakukan tetap sah, tetapi saya tidak mendapatkan kesunnahan jamaah.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa hukum shalat yang imam dan makmum berbeda niatan dalam shalat, diperbolehkan dengan syarat gerakan (formatnya) sama antara imam dan makmum. Mereka menjadi jamaah yangFakhilaqul Aula yaitu jamaah yang shalatnya sah, tetapi mereka tidak mendapatkan kesunnahan shalat jamaahnya.



[1] Hasil wawancara dengan seorang santri alumni dari Pondok Pesantren Nurul Ummah Kota Gede. Beliau bernama AhmadNashir. Sekarang mengajar di salah satu sekolah yang ada di Kota Gede. Pada tanggal 20 Maret 2016 di rumah beliau sekitar pukul 20.00 WIB.

[2] Zakariyah Al-Anshori, Kitab Fathul Wahhab, (Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah), hlm.118.

[3] Hasil wawancara dengan Ning Upik. Beliau adalah anak perempun dari Kyai Muslih Ashari. Pendiri Pondok Pesantren Al-Muna 1 dan 2 di Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul. Saya melakukan wawancara ini pada tanggal 21 Maret 2016 sekitar pukul 09.46 WIB.

[4]Abi Bakar Utsaman Bin Muhammad Syatho’ Ad Diniyati Al-bakhri, Kitab Bairut Ingayatul Thalibin, (DKI Darul ‘Alamiyyah), hlm.6.



Nama : Khasna Usti Fadah
Kelas : Semester 2 PAI B
NIM : 15.10.969
Tugas : Fiqih
Dosen : M. Nasrudin, SHI, MH.

Baca Juga

Komentar