Hukum Mengubah Niat dalam Salat. Bolehkah?


Para ahli fiqih bersepakat bahwa orang yang melakukan shalat dan berniat melaksanakan salah satu shalat fardhu, kemudian di tengah shalat dia mengubah niatnya menjadi niat melaksanakan shalat fardhu yang lain, maka batallah dua shalat yang diniati tersebut. Karena, dia telah memutus keberlangsungan niat yang pertama, dan dia tidak melakukan niat yang kedua pada waktu ihram. Apabila seseorang mengubah niat shalatnya dari shalat fardu menjadi shalat sunnah, maka menurut pendapat yang paling rajin dalam madzhab Syafi’i, adalah shalat tersebut menjadi shalat sunnah. Karena, niat shalat fardhu, kemudian dia tahu bahwa musim haji belum datang, maka ihramnya menjadi ihram sunnah, dan ihram yang fardu tidak jadi. Selain itu, memang tidak ada perkara yang membatalkan ibadah sunnah tersebut.

Merubah Niat Ditengah Shalat
  • Dari shalat fardhu ke shalat sunnah Muthlaq, hukumnya terlarang. Contohnya ada seseorang sedang menunaikan shalat dzuhur sendirian kemudian ia melihat sejumlah orang yang mendirikan shalat dzuhur berjamaah. Ia bermaksud merubah niat shalat dzuhur yang ia kerjakan menjadi shalat sunnah Muthlaq dan ingin menunaikan shalat dzuhur berjamaah maka hukumnya tidak boleh.
  • Dari shalat fardhu ke shalat fardhu jenis lainnya, hukumnya terlarang. Kedua shalat tersebut menjadi batal. Shalat yang pertama batal karena diputus niatnya sementara shalat yang kedua batal karena orang tersebut tidak berniat sejak awal (sebelum takbiratul ihram). Contohnya ada seseorang yang sedang shalat ‘asar, ditengah-tengah shalat tiba-tiba ia teringat dirinya belum mengerjakan shalat dzuhur lalu ia bermaksud merubah niat shalat asar yang ia kerjakan menjadi shalat dzuhur maka hal ini tidak boleh.
  • Dari shalat sunnah ke shalat fardhu, hukumnya terlarang. Beralasan sebagaimana pada poin kedua diatas. Sebagai contoh ada orang melakukan shalat sunnah subuh dua raka’at (sunnah qabliyyah) kemudian ia ingin merubahnya menjadi shalat subuh (shalat fardhu) maka hal ini hukumnya tidak boleh. Bahkan jika ia benar-benar merubah niatnya maka kedua shalat tersebut batal.
  • Dari shalat sunnah Mu’ayyan ke shalat sunnah Muthlaq, hukumnya boleh. Hal ini dikarenakan dalam shalat sunnah Mu’ayyan terdapat unsur shalat sunnah Muthlaq (sebagaimana pengertian yang kami berikan diawal tulisan ini). Contohnya, seseorang berniat shalat sunnah dzuhur 4 rakaat, ditengah shalat ia mendengar iqamah sudah dikumandangkan kemudian ia merubah niat shalat sunnah 4 raka’at menjadi 2 raka’at karena ingin bersegera shalat dzuhur berjamaah maka hukumnya boleh.
  • Dari shalat sunnah Mu’ayyan ke shalat sunnah Mu’ayyan lainnya, hukumnya terlarang. Sebagai contoh seseorang yang sedang mengerjakan shalat sunnah tahiyyatul masjid kemudian ia hendak merubah niatnya menjadi shalat sunnah subuh maka hal ini tidak boleh. Jika ia memang benar-benar melakukannya maka kedua shalatnya batal sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
  • Dari shalat sunnah Muthlaq ke shalat sunnah Mu’ayyan, hukumnya terlarang. Sebagai contoh seseorang yang sedang mengerjakan shalat sunnah Muthlaq dua rakaat tanpa niat Mu’ayyan (seperti halnya shalat sunnah dua rakaat sesudah wudhu) kemudian ditengah shalat ia ingin merubah niatnya menjadi shalat sunnah subuh (sunnah Mu’ayyan) maka hal ini tidak boleh beralasan sebagaimana yang telah lalu.
  • Dari niat imam menjadi makmum, hukumnya boleh. Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha, tentang kisah Abu Bakar mengimami para sahabat. Dalam hadits tersebut beliau menyebutkan, “Ketika ia (Abu Bakar) melihat Rasulullah datang, ia mundur. Nabi shallallahu alaihi wassalam memberi isyarat kepadanya seraya bersabda, “Tetaplah ditempatmu”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan duduk di samping Abu Bakar. Maka Abu Bakar salat berdiri bermakmum kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sementara para sahabat lainnya mengikuti Abu Bakar radhiyallahu’anhu“. (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Berniat makmum dibelakang seorang imam kemudian pindah ke imam yang lain, hukumnya boleh. Sebagai contoh seseorang yang berada dibelakang imam yang sedang sakit kemudian ditengah shalat imam tersebut tidak kuat melanjutkan shalatnya dan diganti dengan imam lain maka shalat makmum yang dibelakanganya tetap sah. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha di atas ketika para sahabat bermakmum di belakang Abu Bakar radhiyallahu’anhu kemudian berpindah ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga kisah terbunuhnya Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu saat mengimami para sahabat kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu’anhu menggantikan beliau sebagai imam.
  • Niat makmum menjadi imam, hukumnya boleh. Ketika imam memiliki udzur meninggalkan shalat seperti karena sakit atau yang lainnya lalu ia menunjuk seorang makmum menggantikan dirinya. Berdasarkan kisah terbunuhnya Umar radhiyallahu’anhu diatas.
  • Berniat shalat sendiri kemudian menjadi imam, hukumnya boleh. Seperti seseorang shalat sendirian kemudian orang lain datang bermakmum dibelakangnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bermalam dirumah bibiku. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam shalat malam akupun menyusul beliau. Aku berdiri disebelah kiri lalu beliau memegang kepalaku dan menariknya disebelah kanan. “(HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun hadits ini berkisah tentang shalat sunnah namun yang benar tidak ada perbedaan antara shalat sunnah dengan shalat fardhu.
  • Berniat imam kemudian menjadi shalat sendirian, hukumnya terlarang kecuali jika ada udzur. Seperti makmum mendapatkan udzur meninggalkan shalat jamaah hingga imam shalat sendirian maka hukumnya boleh dan shalatnya tetap sah.
  • Berniat menjadi makmum kemudian menjadi shalat sendirian, hukumnya boleh jika ada udzur. Seperti bacaan imam yang terlalu panjang hingga melebihi tuntunan yang diajarkan maka makmum diperbolehkan meninggalkan jamaah dan shalat sendirian. (Shahih Fiqh Sunnah, I/308 dengan sedikit tambahan)
Rujukan:
  1. Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zaad al Mustaqni‘, Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Muassasah Asam, Riyadh KSA.
  2. Shahih Fiqh As Sunnah, Abu Malik Kamal, Maktabah Taufiqiyyah.


Nama :Tomi Muslim
Nim :15-10-1533

Baca Juga

Komentar