Makam Imam Syafi'i di Mesir |
SUATU hari disebuah pedalaman nan jauh dari perkotaan Arab; Perkampungan Hudzail namanya. Seorang anak kecil sedang komat-kamit seakan membaca sebuah mantra. Bukan. Itu bukan mantra. Itu adalah syair-syair indah berbahasa arab. Anak sekecil itu, telah hafal sekian banyak bait syair. Lancar. Dan sangat lancar. Untaian-untaian syair itu meluncur begitu deras dari lisannya yang mungil. Menakjubkan.
Aktivitas menghafal tersebut membuat seseorang paruh baya terpesona. Seorang ulama. Penampilan sang anak sungguh menariknya. Sorot matanya tajam. Dan ia tak tahan untuk tidak bertanya. Ia tergoda. “Coba lafalkan untukku apa yang sedang kau hafal itu Nak!” Pintanya.
Lisan sang anak segera bersenandung. Fasih. Tata bahasanya sungguh rapi. Pilihan katanya menakjubkan. Suaranya merdu.
“Muhammad ibn Idris” Jawabnya, ketika sang Ulama menanyakan namanya.
“Apa yang kau lakukan di kampung ini anakku?” Lanjutnya
“Belajar bahasa, nahwu maupun sharafnya serta menghafalkan syair-syair Arab.” Jawab sang anak.
Selanjutnya nasihat mahal keluar dari lisan sang ulama yang mulia. Bagai intan mutiara, nasihat tersebut oleh sang anak diingatnya lekat-lekat. Hingga ia dewasa.
“Ketahuilah Nak, alangkah indahnya jika kefasihan lisanmu dan merdunya suaramu itu digunakan untuk menjaga Sunnah Rasulullah, menyampaikan hukum-hukum syariat kepada manusia, dan mengajari mereka fiqih sehingga mampu memahami agama ini.”
Benar. Nasihat berharga itu kemudian mengubah jalan hafalan sang Bocah. Selain menghafal syair ia juga menghafal kitab-kitab. Hingga di usia yang masih belia, Al Qur’an dan kitab Muwatho’nya Imam Daarul Hijrah juga telah dihafalnya dengan sempurna. Bahkan Muslim ibn Khalid Az-Zanji, sang pemberi nasihat yang bijak itu mempersilahkan Muhammad ketika masih belia untuk berfatwa. Dialah Muhammad ibn Idris yang sangat kita kenal dengan gelar agung Al Imam As Syafi’i.
Untuk mengenang guru Sang Pemberi nasihat bijak itu, Imam Syafi’i ketika dewasa berujar, “Andai tidak ada Muslim ibn Khalid Az-Zanji, tak akan ada As Syafi’i. Kecuali mungkin hanyalah seorang penyair gelandangan yang kebingungan kesana-kemari.” Diiwan Al Imam As Asyafi’i.
Itulah Muhammad ibn Idris As Syafi’i. Imam yang sejak masih belia bahasanya sudah luar biasa. Imam yang sejak masih belia, sudah diizinkan berfatwa. Dialah Imamnya para fuqoha. Bahkan penulis paling melegenda dalam sejarah kesusastraan arab, Al Jahidz konon juga menyebutnya Sang Imam Sastra.
Komentar
Posting Komentar