Yahya C. Staquf
Bukan hanya prajurit yang bisa memperoleh pangkat anumerta. Di Rembang ada kyai anumerta.
Pak Saleh dan Pak Nasikun tidak terkenal ‘alimnya. Tidak juga punya pesantren. Mereka hanya guru-guru di Madrasah Diniyyah Nawawiyyah, di Tasik Agung, Rembang. Pak Saleh Kepala Madrasah, Pak Nasikun Wali Kelas II. Untuk ukuran Rembang, itu belum cukup menjadi modal untuk dipanggil kyai.
Pagi hari Pak Saleh berangkat ke pasar dengan sepeda bututnya, memboncengkan bongkokan kain berisi rupa-rupa pakaian murahan. Itu adalah dagangannya. Sebagian besar berupa sruwal (celana pendek kombor) yang pada pertengahan 1970-an itu biasa dijual seribu-tiga: dengan seribu rupiah bisa kau dapat tiga potong celana.
Pak Saleh tak punya los. Dagangannya cukup digelar di mana pun ia mendapati tempat kosong di emperan pasar Rembang itu. Masuk waktu dhuhur, tak perduli sudah laku atau tidak, Pak Saleh kukut pulang. Jam dua siang sudah tiba di gedung Madrasah, dua kilo dari rumahnya di kampung Sawahan. Begitulah kegiatan rutinnya sehari-hari.
Tak sekali pun Pak Saleh mangkir dari madrasah tanpa udzur syar’i. Apabila ada guru lain yang tak hadir, Pak Saleh sigap menggantikan mengajar agar kelas tak kosong dari pelajaran. Tidak jarang beliau harus mengajar dua-tiga kelas sekaligus dengan mata pelajaran yang berbeda-beda. Maka kalau sekali-dua terjadi “kecelakaan” dalam mengajar, ya lumrah saja.
“U-lil-am-ri!”, Pak Saleh memberi soal imla’ suatu kali, lalu berkeliling memeriksa tulisan murid-murid.
“Betul… ya… bagus… bener… pinter… yyakk…”, tapi kegembiraannya berubah jadi heran karena tak seorang pun murid salah menulisnya, “… Kok sudah pinter semua kalian…?” tertegun sejurus, “…Lho? Ini kelas berapa?”
“Empat, Pak!”
“Ooo… kukira Satu-Be… Tareh! Tareh! Mana kitab Tareh?” buru-buru oper ke mata pelajaran yang seharusnya.
Pak Nasikun memang Modin Desa Tasik Agung. Tapi tidak setiap hari ada orang mati atau manakiban. Maka mengajar di Madrasah adalah wadhifah utamanya.
Gedung Madrasah itu berdiri ditengah kampung nelayan, di tepi pantai, tak jauh dari Tempat Pelelangan Ikan. Setiap waktu istirahat, murid-murid berhamburan bermain air laut atau menonton ikan-ikan dilelang di TPI. Karena asyik, sudah biasa mereka lalai dari bunyi bel masuk walau dipukul berdentang-dentang. Pak Nasikunlah yang lantas berkeliling menyusuri pantai hingga ke TPI, menyisir murid-murid yang masih berkeliaran dan menyeret mereka masuk kelas kembali.
“Keluarkan buku!” perintahnya, setelah semua anak duduk di bangku. Tapi ada seorang yang cuma dlongap-dlongop tak bereaksi.
“Mana bukumu?” Pak Nasikun menegur.
“Nggak bawa, Pak…”
“Sekolah kok nggak bawa buku?!”
“Saya kan nggak sekolah sini, Pak…”
“Lho? Lha ngapain ikut duduk disini?”
“Kan Bapak yang nggeret saya tadi…?”
Ketika Pak Saleh dan Pak Nasikun wafat, orang-orang baru noleh kanan-kiri dan mendapati murid-murid mereka banyak yang sudah menjadi kyai, mengasuh pesantren dan mengelola madarasah-madrasah sendiri. Maka kini tak seorang pun berani menyebut nama mereka tanpa embel-embel kyai. Kyai Sholih dan Kyai Nashihun. Kyai Anumerta.
Komentar
Posting Komentar