Mereka yang tidak peduli dengan 'tirakat' sama seperti ulat. Rakus, memakan semua yang bisa dimakan. Bahkan tak segan-segan mengahabisi daun-daun hijau yang tumbuh segar. Benar-benar habis hingga tak tersisa sedikitpun.
Tirakat menurut masyarakat Jawa adalah proses menahan hawa nafsu dari keinginan duniawi. Menjaga perut agar tidak terlalu kenyang. Menjaga mata dari pandangan penuh dosa. Menjaga bibir untuk selalu basah dengan dzikir, dlsb. Begitulah orang Jawa memaknai tirakat. Sebuah proses pengejawentahan diri menuju pribadi yang lebih baik.
Senada dengan pendapat masyarakat Jawa, dalam KBBI, tirakat bermakna menahan hawa nafsu (seperti berpuasa, berpantang dlsb) dan dapat pula bermakna mengasingkan diri ke tempat yang sunyi (di gunung dlsb).
Meski tujuan dan manfaat tirakat tidak pernah disebutkan secara langsung, namun kita dapat memahaminya melalui fenomena alam yang ada. Hal ini sangat logis karena ayat-ayat Allah swt tidak hanya termaktub dalam Alqur'an, melainkan semua hal yang tersebar di jagad raya. Dengan mengamati peristiwa yang terjadi di sekitar, kita juga telah membaca firman Tuhan. Ya, firman Tuhan dalam ayat-ayat semesta.
Ulat yang kita bicarakan diawal tulisan akan melaksanakan tirakatnya menuju makhluk yang lebih indah. Pada tahap awal, ulat akan berubah menjadi kepompong, makhluk yang berbeda 180 derajat dengan sebelumnya. Setelah menjadi kepompong, ulat tak lagi rakus seperti sebelumnya. Ia benar-benar melaksanakan tirakat yang sempurna. Tidak makan dan minum selama hampir satu bulan penuh. Persis seperti seseorang yang sedang bertapa, kepompong tak peduli dengan panas dan hujan yang datang silih berganti. Ia akan tetap menggantung pada ranting atau di bawah dedaunan yang hijau hingga tirakatnya selesai. Kepompong yang kuat menjalani proses tirakatnya akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Menjelma serangga indah yang membawa banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Sementara yang gagal dalam proses itu akan binasa. Tubuhnya hancur tak bersisa dan menjadi kepompong yang kopong (kosong).
Begitulah, walaupun dianggap makhluk menjijikkan bagi sementara orang, namun setelah tirakat, ulat akan berubah menjadi serangga kecil yang indah dan mempesona. Ya, serangga itu bernama kupu-kupu. Hewan kecil yang tidak hanya disenangi anak-anak tapi juga orang dewasa. Bahkan remaja putri sangat mengagumi kupu-kupu karena pesona keindahan sayapnya.
Demikian juga dengan manusia, mereka yang sanggup menjalani laku tirakat dengan sempurna akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan tidak mungkin, seseorang yang awalnya selalu malas mematuhi aturan, setelah tirakat, menjadi sangat disiplin. Bukan tidak mungkin, para preman yang akhirnya bertaubat dan menjalani laku tirakat dapat menjadi sosok yang sangat sopan dan patuh terhadap perintah-perintah Tuhan.
Meski hampir sama, namun laku tirakat pada manusia tetap memiliki perbedaan dengan kupu-kupu. Bagaimanapun, kupu-kupu adalah hewan tak berakal dan tidak dengan manusia. Laku tirakat pada manusia boleh dilaksanakan oleh orang lain. Misal, seorang ibu melakukan tirakat khusus untuk anaknya. Setulus hati dan istiqomah bangun pada sepertiga malam untuk menunaikan tahajud dan melangitkan doa-doa terbaik untuk sang buah hati. Berpuasa setiap hari kelahiran putranya sembari terus memohonkan kebaikan untuknya. Bagi ayah, laku tirakat bisa dilaksanakan dengan berusaha sekuat tenaga mencari rizki yang baik dan halal untuk kelangsungan hidup keluarga. Dan, laku tirakat ini akan sempurna manakala sang anak juga mengimbangi dengan tirakat serupa. Bagi anak, dalam masa pendidikan, laku tirakat dapat dilaksanakan dengan rajin belajar, disiplin dan mengikuti seluruh peraturan yang dibuat, patuh dan hormat kepada guru, menghargai yang lebih besar, serta mengasihi yang lebih kecil.
Dari siklus metamorfosis ulat, kepompong, dan kupu-kupu, kita juga belajar untuk tidak mudah menjustifikasi orang lain. Bisa jadi orang yang kita nilai buruk sejatinya tengah menuju proses metamorfosis (tirakat) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, orang yang kita sebut-sebut telah paripurna menjalani laku tirakat sejatinya masih dalam proses. Kita tak pernah tahu ending kehidupan kita. Apakah berakhir baik (husnul khotimah) ataukah berakhir buruk (su'ul khotimah). Yang jelas, tirakat dapat dijadikan satu alternatif untuk menjemput happy ending. Jangan berharap lebih baik jika tak mau tirakat. Apapun tirakatnya, lakukanlah sekarang juga karena kita tak pernah tahu kapan maut akan menjemput.
Slamet Mulyani
Semoga bermanfaat
Tapung, 14/01/2018
Komentar
Posting Komentar