Adalah Muadz, remaja tunanetra dari Mesir yang berhasil menghafal 30 juz al-Qur'an dengan sempurna di usia 11 tahun. Kondisi cacat tak membuatnya putus asa menjalani kehidupan. Sebaliknya, Muadz tidak larut dalam kesedihan karena kekurangan ini. Ia justru bersyukur, cacat mata membuatnya jauh dari maksiat. Ia benar-benar terhindar dari pandangan buruk yang bisa saja menjadi dosa.
Muadz sangat sadar, bahwa ia tidak memiliki mata yang bisa melihat. Namun ia juga tahu, bahwa ia masih memiliki telinga yang bisa mendengar. Dengan telinga inilah Muadz mendengarkan bacaan al-Qur'an dari gurunya. Apa yang didengar kemudian ia ulang setiap saat sampai ayat-ayat itu bersemayam di hati. Mata Muadz memang buta, tapi tidak dengan hatinya.
Kisah remaja bernama Muadz ini seharusnya menyadarkan kita. Selalu ada kelemahan pada setiap individu. Namun dibalik kelemahan itu selalu ada kelebihan tersendiri. Ya, dalam setiap kelemahan selalu ada kelebihan. Begitu juga sebaliknya. Karena manusia memang bukan makhluk yang sempurna.
Dalam diskusi tentang ke-tidak sempurna-an, minimal ada tiga pelajaran yang bisa kita ambil. Pertama, jangan larut dalam kelemahan yang kita miliki. Bangkitlah, banyak orang di luar sana yang tetap berprestasi dengan berbagai kekurangan dan kelemahannya. Rasa kesal, frustasi, dan putus asa karena kelemahan yang ada hanya membuat kita semakin terpuruk dan jauh dari kesuksesan.
Meski tak bisa melihat, namun kita masih bisa mendengar. Meski tak bisa berbicara, namun kita masih bisa menulis. Meski tak punya tangan, namun kita masih punya kaki. Dan, meski tak memiliki semua yang kita sebutkan, namun kita masih punya hati, masih punya akal, dan yang pasti, kita masih punya ruh yang bersemayam di jiwa. Akankah kita korbankan segudang kelebihan ini hanya karena satu dua kelemahan saja?
Kedua, manfaatkan kelebihan (potensi) yang ada. Sejatinya, orang-orang hebat bukan tak memiliki kelemahan sama sekali. Mereka hanya fokus terhadap kelebihan yang ada dan tidak larut dalam kelemahan yang dimiliki. Terus mengasah dan melatih potensi diri sehingga menjadi ahli di bidangnya masing-masing.
Mungkin kita kurang pandai secara akademik. Namun kita sangat senang berolahraga, sangat senang bermain musik, sangat senang melukis, dlsb. Mungkin kita kurang terlihat cantik atau tampan. Namun kita sangat rajin membaca, sangat rajin berkebun, sangat rajin memasak, dlsb. Mungkin kita tidak pandai berbicara di depan banyak orang. Menyampaikan ide dan gagasan yang bernas dan brilliant. Namun, kita sangat senang menulis.
Jika kelebihan yang ada kita asah, kita latih, dan terus kita manfaatkan dengan maksimal, dunia tak akan menilai kelemahan kita lagi. Orang-orang akan melihat karya dan prestasi kita. Nama kita akan tercatat dalam sejarah, abadi selamanya. Karya dan prestasi kita akan menginspirasi seluruh penduduk bumi.
Ketiga, bersyukur atas karunia yang tak ternilai harganya. Dibalik ketidak sempurnaan ini, Tuhan menitipkan akal kepada kita. Dengannya, Tuhan suruh kita untuk berfikir dan memilih. Apakah menjadi pribadi yang bersyukur, atau justru malah kufur.
Mereka yang pandai bersyukur akan menjumpai nikmat berlipat ganda. Menemukan potensi dibalik kelemahan yang dimiliki. Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Selanjutnya, meraih banyak prestasi karena terus berlatih. Sementara yang kufur, cepat atau lambat, pasti akan binasa. Setiap saat hanya meratapi kelemahannya. Hari-hari menjadi gelap, penuh kesedihan, dan masa depan menjadi suram.
Ada yang punya kaki, tapi tak bisa berjalan karena lumpuh. Namun tetap bersyukur karena masih memiliki telinga. Ada yang punya telinga, tapi tak bisa mendengar karena tuli. Namun tetap bersyukur karena masih memiliki mulut. Ada yang punya mulut, tapi tak bisa berbicara karena bisu. Namun tetap bersyukur karena masih memiliki mata. Ada yang punya mata, tapi tak bisa melihat karena buta. Namun tetap bersyukur karena masih memiliki tangan. Lalu, bagaimana dengan kita yang memiliki semuanya???
Slamet Mulyani
Semoga bermanfaat
Tapung, 24/01/2018
Komentar
Posting Komentar