Pembacaan (Turats) Kitab Fathul Qorib perspektif Prof. Dr. Abid Jabiri




Oleh ibnu badri


Prof. Dr Abid Jabiri dalam karya tetralogy kritik nalar arab membuat sebuah hipotesa bahwasanya kejumudan peradaban arab sekarang yang sangat jauh tertinggal dari peradaban barat disebabkan oleh  meninggalkannya peradaban arab nalar rasional-empirik untuk mencapai kemajuan. Kejumudan berpikir peradaban arab ini dimulai setelah masa ibnu rusdi yang terkenal dengan rasio rasional empiriknya. Epistimologi

nalar arab dalam memperoleh suatu pengetahuan didasarkan pada tiga nalar berpikir. Pertama nalar berpikir bayani yaitu sebuah upaya untuk menggali pengetahuan berdasarkan telaah teks. Dari hasil nalar ini munculah suatu diskursus fans keilmuan gramatika (nahwu-sorof), retorika (balaghoh), teologi (ilmu kalam), tafsir. Sehingga mekanisme nalar bayani tidak pernah keluar dari wacana kebahasaan, khususnya interpretasi kandungan wacana yang berkembang dalam teks keagamaan. namun nalar bayani ini mulai menjadi sebuah epistimologi nalar berpikir sejak imam syafi'i mengkodifikasikan kaidah-kaidah penafsiran dan penalaran Al-Quran dengan karyanya Ar-Risalah.

 Kedua nalar berpikir irfani yaitu sebuah upaya untuk menggali pengetahuan berdasarkan intuisi (kasyaf), sebuah penyikapan pengetahuan melalui pesan intuisi dari orang yang sudah dianggap dekat allah. Nalar berpikir irfani ini biasanya bersifat subjektif. Nalar berpikir ini lebih mengutamakan kepercayaan nurani daripada logika akal.

Ketiga nalar berpikir burhani yaitu suatu upaya untuk menggali pengetahuan berdasarkan nalar berpikir logika kausalitas-silogisme. Dalam nalar berpikir ini suatu pengetahuan haruslah bisa dibuktikan secara rasional-emprik.
Dari ketiga nalar berpikir arab ini yang paling dominan adalah nalar berpikir bayani dan irfani serta cenderung meninggalakan nalar burhani, sehingga Prof. Dr Abid Jabiri membuat hipotesa ketertinggalan peradaban arab dari peradaban barat sekarang ini disebabkan berbedanya nalar dalam penggalian sebuah pengetahuan.

Kita tahu bahwa Nalar berpikir peradaban barat adalah rasional-empirik. Untuk itu upaya membentuk sebuah perdaban yang intelektual di arab khususnya dan dunia timur pada umumnya harus dimulai dari upaya merubah pondasi dasar nalar berpikirnya. Dan mengaktualisasi nalar berpikir burhani diberbagai aspek. 

Di akhir-akhir ini kita bisa melihat nalar berpikir kita lebih takjub dan heran jika ada fenomena alam seperti daun yang berbentuk lafal allah, awan yang bentuk kalimat toyibah akan tetapi lupa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi, ekonomi dll, hal ini berbeda sekali dengan peradaban kita di era abad pertengahan, yaitu sebuah peradaban yang manusianya sibuk menggali dan menciptakan pengetahuan baru, dari peradaban ini munculah intelektual yang diakui dunia seperti Al-Jabar, Ibnu Sina, Averus, Ibnu Jinni. Dizaman sekarang jarang sekali muncul intelektual kita yang menguasai panggung pengetahuan dunia, intelektual kita sangat jauh ketertinggalanya dari intelektual barat. 

Sebenarnya sudah banyak sekali kaum intelektual kita seperti Abid Jabiri, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman yang memikirkan bagaimana mengembangkan peradaban kita menjadi peradaban unggul dan mampu bersaing dengan peradaban barat, namun sampai saat ini belum muncul tanda-tanda peradaban kita akan mampu bersaing dengan peradaban barat.

Jikalaupun ada intelektual kita yang mau merubah peradaban biasanya nalar SDM kita belum mampu mengikuti arah pemikirannya sehingga terjadi banyak penolakan. Sehingga para intelektual kita lebih memilih berkarya dan mengebangkan pengetahuan didunia barat daripada dinegara sendiri. Oleh karena itu pondasi nalar berpikir burhani harus mulai dibiasakan dalam peradaban kita dan upaya pendidikan yang berbasis nalar burhani harus diterapkan sehingga tercipta sinergi antara kaum intelektual dan masyarakat.

Sebenarnya upaya Prof Dr Abid Jabiri dengan mengubah nalar yang Irfani dan Bayani menuju nalar berpikir Burhani adalah suatu cara untuk memajukan peradaban timur.
Salah satu hal juga yang membuat peradaban timur tertinggal adalah perlakukan terhadap turast (kitab kuning) atau upaya pembacaan turast yang tertalu tektualis, sehingga terkesan bahwa peradaban kita terkesan kaku dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Prof Dr Abid Jabiri mengatakan bahwasanya upaya perlakuan turast masih bersifat penyalinan dan penjabaran suatu masalah, tidak menciptakan suatu fans keilmuan dan pengetahuan baru sehingga yang terjadi adalah pengulangan pembahasan masalah. Dapat kita rasakan sampai saat ini kita masih disibukan dengan berbagai masalah yang sebernarnya pembahasan sudah diselesaikan oleh para pakar terdahulu. Saat kita kita masih disibukan dengan pembahasan bid'ah, tahayul dan khurafat. Padahal kalau diamati permasalahan ini tidak akan pernah selesai sampai kapanpun jika kita masih mengadalkan ego dan idealisme ideologi. Hal ini sangat disayangkan oleh Habib Lutfi Bin Yahya, beliau mengatakan sudah tidak eranya kita berdebat membahas masalah bid'ah dan furu'iyah. Yang harus kita bahas dan fokuskan adalah kemajuan pengetahuan agar bisa menyaingi peradaban barat. KH Sahal Mahfud menekankan langkah taktis agar peradaban kita (fiqih) bisa mengikuti perkembangan zaman harus ada upaya untuk menyelesaikan masalah dengan pembacaan turast yang metodologis bukan hanya tektualis. 
Upaya pembacaan teks dengan tiga nalar (Bayani, Irfani, dan Burhani) sangat penting agar bisa dihasilkan pembacaan sebuah teks yang komprehensif dan tidak berpacu pada makna tektualis, akan tetapi bisa sampai pada pembacaan teks yang kontektualis dan menghasilkan interpretasi yang mendalam.

penulis akan mencoba melakukan pembacaan kitab karya Muhammad al-ghozi yang berjudul fathul qorib-mujib, sebuah kitab yang sangat populer dikalangan umat muslim di indonesia khusunya kalangan pesantren.

Muhammad al-ghozi mengatakan bahwasanya air yang bisa digunakan untuk bersuci itu ada tujuh yaitu air langit (hujan), air laut, air sungai, air sumur, mata air, air salju, air es. Dari ketujuh jenis air tersebut pada dasarnya ada yang berasal dari langit, dan ada yang berasal dari bumi. Jika ditinjau dari pengamatan ilmu sains (burhani) sangat jelas bahwasanya air itu berasal dari dua tempat, yang turun dari langit dan yang bersumber dari bumi, akan tetapi pandangan ini jika tidak mencangkup semuanya jenis air, karena ada mu'jizat bahwasanya jemari nabi muhammad bisa mengeluarkan air dan digunakan untuk wudhu para sahabatnya, oleh karena itu pemahaman saintis saja tidak cukup untuk memahami sebuah realitas dan mengembangkan sebuah keilmuan, Prof Ibrahim Bajuri dalam karangannya menyebutkan bahwasanya asal usul air itu berasal dari satu saja, yaitu dari langit saja. Tidak ada air yang berasal dari bumi, hal ini berdasarkan keterangan Al-Quran surat azzumar ayat 21 "apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air dibumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkan tanaman yang bermacam-macam". Akan tetapi suatu madhab mu'tazilah mempunyai hipostesa tersendiri yaitu bahwasanya semua air itu berasal dari bumi, yaitu laut, kemudian melalui proses ilmiah air tersebut dibawa kelangit (penguapan),kemudian diturunkan, begitu seterusnya sehingga menjadi sebuah siklus air, menurut hemat penulis pendapat dari madhab ini yang cenderung diikuti oleh ahli saintis abad moderen ini, Dari ketiga ini sudah selayaknya kita mengembangkan tiga nalar berpikir ala Prof Abid Jabiri untuk mengembangkan suatu keilmuan sehingga akan mucul suatu epistemologi keilmuan baru yakni asal-usul air dari tiga perspektif nalar berpikir, sehingga teori ilmu yang dihasilkan bisa lebih komprehensif.

Imam Nawawi Albantani, seorang cendekiawan terkemuka asal Banten, Indonesia mengemukakan dalam buku karangannya, Qutul Habibul Ghorib, bahwasanya air yang turun dari langit itu ada dua jenis, yang pertama yaitu air hujan yang kedua adalah air embun. Beliau berhipotesa bahwa salah satu keunikan dan keajaiban air embun adalah bahwa air embun itu bisa menerbangkan suatu. ia menyatakan, apabila kita mengambil sebutir telur, kemudian kita melubanginya dan mengeluarkan isinya kemudian kita isi telur tersebut dengan menggunakan embun, setelah itu tutup kembali lubang telur tersebut dengan malam, kemudian letakan telur tersebut diletakan diterik matahari, tepat waktu istiwa (ketika matahari tepat berada diatas kita, keadaan tanpa bayangan) telur tersebut akan terbang. Hemat penulis bahwasanya imam nawawi mengularkan pernyataan ini berdasarkan nalar pikir irfani (ilham ilahi), entah beliau sudah melakukan atau belum, yang penulis yakini bahwa apa yang ditulis oleh ulama dalam kitabnya bisa dipertanggungjawabkan dunia-akhirat oleh karenanya penulis berharap hipotesa ini bisa diteliti dengan menggunakan nalar burhani (saintifik) sehingga akan menghasilkan suatu penemuan yang bermanfaat untuk kehidupan manusia.

Sangatlah menarik kajian mengenai air embun sudah dipaparkan imam nawawi, oleh karenanya penulis tertarik melakukan sebuah kajian mengenai air yang turun dari langit juga, yaitu air hujan. Penulis menyimpulkan bahwa dalam Al-Quran terdapat 73 kata yang mengungkapkan makna hujan di dalam Al-Quran. 73 kata tersebut tersebar dalam 66 ayat dan menggunakan 20  kata jenis kata saja. Kedua puluh kata tersebut adalah As-Ṣayyib (الصيّب), Al-Wābil (الوابل), At-Ṭal (الطل),  Al-Maṭar (المطر), Al-Māˈ (الماء),  As-Samāˈ(السماء), As- Saḥāb (السحاب), Al- Ḥijārah (الحجارة), Al-Ḥusbāna (الحسبان),  Al- Wadq(الودق), Al-Baradu (البرد), Al-Kisafa (الكسف), Ar-Rīḥu (الريح), Al-Ḥāṣib (الحاصب), Al-Gaiṡ (الغيث), Ar-Riżq (الرزق), Al-'Āriḍu (العارض), Al-Wiqr (الوقر), Ar-Raj' (الرجع), ar-rahmah (الرحمة).

Penulis kemudian mengambil dua contoh kata yang bermakna hujan yaitu Kata Al-Ḥusbāna (الحسبان), Al-Ḥusbāna mempunyai makna hujan deras yang turun dari langit yang merupakan azab disertai petir, angin yang panas, gumpalan es yang sangat dingin yang menyebabkan tanah menjadi putih serta mengandung air asin sehingga tidak bisa ditumbuhi tanaman dan tidak bisa dilewati sehingga hilang kemanfaatanya. Dari sini penulis mengambil hipotesa berdasarkan nalar pikir bayani bahwa hujan dengan kata ini mereferentasikan hujan asam yang kita kenal sekarang, karena hujan ini mengandung air asin yang apabila mengenai tanah akan mengering dan mati, dan apabila mengenai dedaunan, akan mengering dan mati, dan hal ini sudah banyak sekali dikaji oleh cendekiawan dengan menggunakan nalar berpikir burhani (saintik), sangatlah indah jika suatu penelitian menggabungkan dua nalar berpikir ini bayani yaitu interpretasi dari teks (alquran hadist) dan dipadukan dengan nalar pikir burhani (saintik). kemudian penulis mengambil kata Kata Ar-Raj'. Prof Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Munir (2009:15/559) menyatakan bahwa makna Ar-Raj' bermakna kembalinya sesuatu kepada titik semula, yang dimaksudkan adalah hujan yang kembali ke bumi secara berulang yang turun dari langit, menghidupkan bumi yang mati serta menumbuhkan berbagai tanaman. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa kata Ar-Raj' mempunyai tiga makna. Pertama adalah hujan yang turun setelah turunya hujan yang pertama, kedua adalah hujan kembali dari langit ke bumi seraca berulang-ulang (siklus air) dan menghidupkan bumi yang mati, ketiga adalah hujan yang kembali dan berulang setiap tahun. Perputaran siklus air ini merupakan hasil interpretasi nalar burhani dan bayani.

Dari keterangan ini, pembahasan sebuah kitab dengan tiga nalar berpikir tadi diharapkan akan menghasilkan suatu peradaban baru, yaitu peradaban yang cinta akan ilmu pengetahuan.

Baca Juga

Komentar