PEMIKIRAN AL-GOZALI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSINYA PENDIDIKAN NASIONAL


PEMIKIRAN AL-GOZALI TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DAN RELEVANSINYA PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh Isnaeni Alfi N
A. PENDAHULUAN
Data-data sejarah telah banyak menunjukan bahwa sejak awal perkembangannya, Agama Islam telah menanamkan akar yang dalam. Dengan adanya para tokoh yang memperjuangkan Pendidikan Islam. Namun dalam perkembangannya, peran-peran itu tidak lagi menjadi pemahaman dan dasar pengetahuan yang dijadikan landasan oleh suatu sistem. Banyak masyarakat yang mengadopsi sistem dari Barat dan di terapkan dalam Pendidikan Islam. Pendidikan Islam merupakan salah satu ilmu yang perlu dititik beratkan. Berbagai jenis kitab fiqh, tauhid, tafsir, hadis, ilmu-ilmu ulum, sirah nabawi, akhlak, balaghah dan bahasa Arab telah ditulis oleh para ulama. Pentingnya mengenal para ulama dan memahami konsep pemikiran-pemikiran ulama sebagai pijakan dalam Pendidikan Islam.
Salah satu tokoh cendekiawan muslim abad ke 10 adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali atau lebih familiar dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau mempunyai peran yang penting dalam perkembangan pendidikan Islam pada masanya, bahkan konsep pendidikan Al-Ghazali masih digunakan sebagai refrensi saat ini. Salah satu karya monumentalnya adalah Ihya’ ‘Ulumuddin.
Berangkat dari kebesaran nama Imam Al-Ghazali sebagai salah satu ilmuan dan cendekiawan yang dimiliki umat Islam dan besarnya kontribusinya dalam dunia pendidikan. Penulis akan membahas membahas hal-hal mengenai Imam Al-Ghazali. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas 1) Bagaimna biografi Imam Al-Ghazali, 2) Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali, 3) Bagaimana pendikan Islam menurut Imam Al-Ghozali dan relevansinya Pendidikan Nasional.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), dengan pendekatan history factual appproach yang berlatar pada pikiran tokoh maupun karyanya, metode pengumpulan data dengan dokumentasi dan analisis data dengan analisis isi (content analysis), yaitu metode penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang shaih dari sebuah buku atau dokumen. Dengan langkah-langkah pengadaan data, reduksi data, inferensi dan analisis.

B. PEMBAHASAN
1. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H bertepatan dengan 1058 M di Gazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Thus, wilayah Khurasan. Keluarganya dikategorikan sebagai keluarga yang kurang mampu. Meskipun demikian hal itu tak menghalangi Al-Ghazali untuk memiliki tekad yang sangat kuat untuk belajar. Tekad ini ditunjukkan dengan pengembaraan yang dilakukannya ke berbagai daerah, diantaranya Jurjan (Turkmenistan) dan Naysabur (Iran).Beliau wafat di Tabristan wilayah propinsi Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H bertepatan dengan 1 Desember 1111 M.
Al-Ghazali pada masa kanak-kanak belajar fikih kepada ahmad Ibn Muhammad al-Radzakani, kemudian beliau pergi ke jurjan berguru pada Imam Abu Nashr al-Ismaili, setelah itu ia kembali ke Thus. Dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.
Setelah belajar di Thus, ia berkunjung ke Naisabur untuk berguru pada Abu al-Ma’ali al-Juwaini (imam al-Haramain) di Madrasah Nizamiyah, mempelajari ilmu-ilmu Fikih, ushul Fikih dan Mantik serta Tasawuf pada Abu Ali al-farmadi’ sampai ia wafat pada tahun 478H. Melihat kecerdasan dan kemampuannya, al-Juwaini memberinya gelar “bahrun muqhriq” (laut yang menenggelamkan).
Ketika Imam Haramain wafat, al-Ghazali kemudian pergi ke Askar dekat Naisabur untuk menemui Nizam al-Mulk yang mempunyai majlis ulama dan ia memperoleh sambutan dan penghormatan untuk berdebat dengan para ulama sehingga mereka dapat dikalahkan semua berkat keluasan ilmu al-Ghazali. Oleh karena itu nama al-Ghazali makin masyhur, sehingga Nizam al-mulk memintanya pindah ke Baghdad untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah. Al-Ghazali pindah ke Baghdad pada awal tahun 484 H setelah bermukim selama 5 tahun di Askar, saat itu ia berusia 34 tahun.
Di tengah kesibukannya sebagai seorang pengajar, ia masih tetap meluangkan waktunya untuk mempelajari ilmu lainnya, seperti ilmu Filsafat Klasik dan Filsafat Yunani. Kemudian pada tahun 488 H, al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan menetap di Damsyik selama 2 tahun, lalu pindah ke Palestina paha tahun 493 H, kemudian pindah lagi ke Baghdad dan akhirnya menetap di Thus dengan melakukan kegiatan merenung, membaca, menulis dan berkonentrasi pada Tasawuf selama 10 tahun. Sampai pada akhirnya al-Ghazali kembali lagi ke Naisabur dan mengajar di sana sampai wafat (1111 M).

2. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
Sistem pendidikan al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli Tasawuf. Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikan al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religius dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.
a. Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan Islam tercermin dalam dua segi, yaitu insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt dan insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kebahagian dunia akhirat dalam pandangan Al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya, kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.
Bagi al-Ghazali yang dikatakan orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga derajatnya lebih tinggi disisi Allah dan lebih kebahagiannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu sebagai alat untuk mencapai tujuan.
b. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum disini dimaksudkan adalah kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan mengenai ilmu pengetahuan. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi beberapa sudut pandang :
1) Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang :
a) Ilmu Syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas :
ü Ilmu Ushul (ilmu pokok): ilmu al-Qur’an, Sunnah Nabi, pendapat-pendapat sahabat dan Ijma’
ü Ilmu Furu’ (cabang) : ilmu hal ihwal hati dan akhlak
ü Ilmu pengantar (mukaddimah): ilmu Qira’at, makhrij al-Huruf wa al-Alfads, ilmu tafsir, Nasikh dan Mansukh, lafadz umum dan khusus, lafadz nash dan zahir serta biografi dan sejarah perjuangan sahabat.
b) Ilmu bukan syari’at terdiri atas :
ü Ilmu yang terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan. Khusus ilmu perusahaan dirinci menjadi : (a) Pokok dan utama: pertanian, pembangunan dan tata pemerintah.(b) Penunjang: pertukangan besi dan industri sandang. (c) Pelengkap: pengolahan pangan dan pertenunan.
ü Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan): kebudayaan, sastra, sejarah, dan puisi.
ü Ilmu yang tercela (marugikan): ilmu tenung, dan sihir.
c) Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok :
ü Ilmu pengetahuan yang tercela
ü Ilmu pengetahuan yang terpuji
ü Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji
d) Berdasarkan status hukum mempelajari, dikaitkan dengan nilai gunanya dapat digolongkan menjadi :
ü Fardhu ‘ain yang wajib dipelajari oleh setiap individu
ü Fardhu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim untuk dipelajari.
c. Pendidik
Menurut Al-Ghazali Pendidik adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didik yang memberi santapan jiwa dan ilmu, pembinaan akhlak mulia dan meluruskan perilaku buruk. Dalam proses pembelajaran, menurutnya eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak, bahkan dapat dikatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala alam, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya.Dalam hal ini Al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik sebagai berikut
1) Pendidik hendaknya memandang peserta didik seperti anaknya sendiri.
2) Dalam menjalankan tugasnya, pendidik hendaknya tidak mengaharapkan upah atau pujian, tetapi hanya mengharapkan keridaan Allah swt.
3) Pendidik hendaknya memanfaatkan setiap peluang untuk memberi nasehat dan bimbingan kepada peserta didik.
4) Terhadap peserta didik yang berperilaku buruk, hendaknya pendidik menegurnya sebisa mungkin dengan sindiran dan penuh kasih sayang.
5) Hendaknya pendidik tidak fanatik terhadap bidang studi yang diampunya.
6) Handaknya pendidik memperhatikan perkembangan berpikir peserta didik agar dapat menyampaikan ilmu sesuai dengan kemampuan berpikirnya.
7) Hendaknya pendidik memperhatikan peserta didik yang lemah dengan memberikan pelajaran yang mudah dan jelas.
8) Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya, dan tidak sebaliknya. Dimana perbuatannya bertentangan dengan ilmu yang diajarkan kepada peserta didik.
d. Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik mempunyai kewajiban melaksanakan sifat-sifat dan kode etik dalam proses belajar mengajar, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini Al-Ghazali merumuskan kode etik peserta didik, yaitu:
1) Memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk.
2) Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
3) Tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya.
4) Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
5) Penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu yang dimaksud.
6) Penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
7) Penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahapan ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya.
8) Penuntut ilmu hendaknya mengetahui factor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia.
9) Tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keuta maan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya.
10) Penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan.
11) Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik.
Dalam tulisannya mengenai cara mendidik anak, Al-Ghazali mengatakan bahwa anak harus dididik keras dan latihan ketat, ibu dan ayah sama-sama bertanggungjawab dalam melatih dan membentuk perilaku anak yang baik. Tempat tidur anak mesti keras agar anggota tubuhnya kuat dan tidak kelebihan lemak. Makanan dan pakaian yang sederhana, latihan aktif. Anak-anak tidak boleh tumbuh malas, dan sombong dengan kedudukan dan kekayaan yang dimiliki ayahnya. Anak harus dilatih rendah hati dan ramah dalam bergaul sesama teman sejawatnya. Anak harus diajari bahwa ketinggian budi terletak pada “memberi” bukan “menerima”, ketamakan  adalah sesuatu yang hina.
e. Metode dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran, untuk metode, misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media atau alat yang digunakan dalam pengajaran, beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan, bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya. Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.
f. Proses Pembelajaran
Al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau lat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang hidup penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pelajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syari’at, terutama al-Qur’an. Begitu pula metode dan media yang diterapkan juga harus mendukung baik secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran.







C. ANALISIS RELEVANSI ANTARA PENDIKAN MENURUT IMAM AL-GHOZALI DAN PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman, untuk mewujudkan cita-cita ini, diperlukan pejuangan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam Pendidikan Nasional mempunyai tujuan yang tertera dalam UU No 20 Tahun 2003 pasal 3 yaitu tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalamnya disebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berlimu, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan Pendidikan Nasional di atas juga tidak banyak berbeda dengan tujuan pendidikan yang disebutkan oleh Imam Ghozali, meskipun Imam Ghozali lebih menekankan pada agama dan syariah karena lebih mendekatkan manusia kepada tuhannya. Tujuan pendidikan menurut imam Ghozali yaitu lebih mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan taqorrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.
Imam ghozali Ghozali juga merumuskan tujuan pendidikan dalam jangka pendek dan jangka panjang, yang diman jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan kemampuannya, dan untuk mencapai tujuan itu terdapat syarat yaitu harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai bakatnya masing-masing.
Sedangkan dalam jagka panjang itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan, atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Jika tujuan pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Sistem Pendidikan Nasional pada saat ini berbeda dengan sistem yang di ungkapkan oleh Imam Ghozali, dimana sistem pemerintahan saat ini kurang baik dan cenderung lebih bersifat parsial, karena sering terjadi pergantian kurikulum. Hal semacam itulah yang menjadi perbedaan antara Pendidikan Nasional dengan pendidikan oleh Imam Al Ghozali.
Karakteristik kurikulum saat ini nampak kurang bersifat progresif, rumusannya masih berkisar menjawab persoalan kekinian yang terjadi, dan belum mampu memeprediksikan persoalan dalam jangka waktu lima atau sepuh tahun yang akan datang, sedangkan dinegara-negara maju kurikulumnya bersifat progresif karena bersifat antisipatif terhadap tantangan kehidupan dalam jangka panjang.
Adanya pergantian kurikulum merupakan suatu terobosan yang diharapkan menjadi kegembiraan dalam aspek kurikulum, namun harapan itu nampaknya masih jauh untuk terwujud. Dengan adanya kurikulum baru tidak serta merta memberikan perubahan secara drastis. Justru adanya kurikulum baru membawa masalah tersendiri, desain kurikulum baru tidak mudah untuk di implementasikan. Banyak kendala yang harus dihadapi untuk mengimplementasikannya. Banyak kalangan yang belum memiliki kesiapan yang memadai untuk mengimplementasikannya.
Kurikulum dibuat dengan sesungguhnya, berusaha untuk mengikuti tuntutan tantangan baru, tetapi substansi, metode, setrategi dan capaian yang dilakukan masih mengikuti standart kurikulum lama. Sehingga secara umum belum banyak perubahan yang terjadi
Adapun pandangan Imam Ghozali tentang kurikulum yaitu dengan membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan ilmu pengetahuan yang diwajibkan untuk dipelajari murid-muridnya yaitu:
1. Ilmu pengetahuan tersebut jika dipelajari akan timbul mudharat dan menjadikan keraguan terhadap adanya Tuhan, maka diperintahkan untuk menjauhi ilmu tersebut.
2. Jika ilmu yang dipelajari akan menimbulkan kesucian jiwa dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka ilmu tersebut diwajibkan untuk dipelajari.
3. Dan membatasi ilmu yang kadar tertentu terpuj, tetapi jika mendalaminya tercela, karena dikhawatirkan akan menggoncang iman dan ilhad (meniadakan Tuhan), seperti filsafat.
Dari beberapa hal di atas, Imam Ghozali membagi ilmu lagi menjadi dua kelompok. Yakni:
1. Ilmu yang wajib yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
2. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik,ilmu pertanian dan industri.
Sistem Pendididikan Nasional berbeda dengan pendidikan oleh Imam Ghozali, pada Pendidikan Nasional penekanan pada proses belajar mengajar memang kreatif, akan tetapi sayangnya evaluasi belajar mengajar hanya melalui Ujian Nasional yang tetap menitik beratkan pada hasil. Hal semacam itu tidak ada dalam pemikiran pendidikan yang dikemukakan oleh imam Al- Ghozali.








D. KESIMPULAN
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang lahir dikota Thus, Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya adalah seorang sufi yang bekerja sebagai pemintal wool, ia meninggal sewaktu al-Ghazali masih kecil. Al-Ghazali mulai belajar di kota kelahirannya Thus,  lalu kemudian melanjutkannya di Naysabur pada ulama terkenal, Al-Juwaini Imam Al-Haramain. Kehidupannya kemudian banyak diisi dengan kegiatan mengajar diberbagai kota mulai dari Baghdad, Damaskus, Syam hingga kembali kekampung halamannya di Thus, tempat dimana ia wafat pada tahun 505 H/1111 M.
Menurut  al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, begitupun pemanfaatannya mestilah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT. Tentang kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali mengatakan bahwa Al-Quran beserta kandungannya berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji dan ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam. Adapun tujuan utama dari penggunaan metode dalam pendidikan harus diselaraskan dengan tingkat usia, kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak lepas dari nilai manfaat.
Tentang pendidik, Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena pendidik merupakan contoh bagi anak didiknya. Dalam kaitannya dengan peserta didik, Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan. Lebih lanjut, al-Ghazali memakai pendekatan behavioristik dalam metode pendidikannya dan  mengelaborasinya dengan pendekatan humanistik. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas seorang pendidik dan murid.
DAFTAR PUSTAKA

J. Maleong Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2013.
Naim, Ngainun. Rekontruksi Pendidikan Nasional (Membangun Paradigm Yang Mencerahkan). Yogyakarta :TERAS. 2009.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2000.
Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Kalam Mulia. 2009.
Razi, Muhammad. 50 Ilmuwan Muslim populer. Jakarta; QultumMedia. 2005.
Sirajudin. Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta; raja Grafindo persada. 2004.
Umar, Bukhari.  Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta; Amzah. 2010.
Indonesia, Republik. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Fokus Media, 2015.
Zubair, Anton Bakker dan Achmad Charis. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1994.

Baca Juga

Komentar