KH. Munawwir Abdul Fattah
Niat dalam ibadah mempunyai arti penting dan sentral. Artinya, setiap ibadah harus pula disertai niat.
Tanpa niat, ibadah itu tidak ada artinya, hanya sia sia. Kedudukan niat itu dalam hati. Bila diucapkan hukumnya sunnah karena sifatnya sekadar penolong agar hati dan mulut satu kata. Orang-orang NU suka kalau shalat mulutnya mengucapkan ushalli dan hatinya berniat untuk mengerjakan shalat, sambil kedua tangannya diangkat membaca takbir. Tiga pekerjaan sekaligus dikerjakan dalam satu waktu.
Bahkan, saking fanatiknya, kadang membaca ushalli diulang-ulang, dan menurut mereka, mengucap kannya harus lirih agar suara itu terdengar oleh telinga sendiri, bukan telinga orang lain. Hal ini bertujuan untuk lebih memantapkan diri. Meskipun golongan yang shalat cukup berniat dalam hati agak sedikit terkesima. Sehingga sudah menjadi pengetahuan umum, di mana dan kapan saja ada orang lalu terdengar suara ushalli, dapat dipastikan orang NU. Kok orang lain, anak-anak orang NU yang masih kecil dan nakal saja memberikan komentar: Bapak justru ngajari salah, masak mulut membaca takbir, hati suruh niat shalat!"
Berkenaan dengan itu, orang-orang NU bukannya tanpa alasan, mereka memilih ushalli diucapkan lewat mulut di samping hati wajib bera dengan beberapa alasan:
Dalil pertama
وفي البخارى من حديث عمر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول وهو في وادي العقيق أثانی الله أت من ربي فقال: صل في هذا الوادي المبارك الل عمرة في مكة وهذا تصريح باللفظ والم كما بت بالق بت بالقياسي.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Umar, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah, ketika itu sedang berada di lembah Agiq, bersabda: Pada suatu malam telah datang utusan Tubanku seraya Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini, dan berkata: ucapkan niat umrah dalam haji. Ini diucapkan secara terang dan jelas, bahwa hukum seperti yang telah ditetapkan dalam nashlteks, dan juga ditetapkan oleh qiyas/analogi.
Dalil kedua:
من عزم على المغصية ولم يفعلها أو لم يتلفظ بها لا ائم لقوله صلى الله عليه وسلم: "إن الله تحاوز لأتی ما حدت به فوها ما تكلم أو تعمل به".
Siapa berniat berbuat maksiat tapi belum mengerjakannya atau belum mengucapkannya, ia tidak berdosa. Sebab, Rasul bersabda: Allah memaafkan umatku selagi hatinya baru berniat, belum diucapkan, atau belum dikerjakan.
Dalil ketiga:
ومن ذلك قول الإمام أبي حنيفة وأحمد إنه يحو تقديم النية على الكبير بيرمان يسير مع قول مالك و الشافعى مقائتها لشكر وألها لا تخرئ قله ولا بعده ومع قول القفال إمام الشافعية بما قارنت الية نداء التكبير إنعقدت الصلاة.
Berdasarkan alasan hadits di atas juga, Abu Hanifah dan Imam Ahmad berkata: Sesungguh nya (dalam shalat) boleh mendahulukan niat atas takbir asal belum lama. Akan tetapi, bagi Imam Malik dan Syafi'i mewajibkan bersamaan antara niat dan takbir, dan tidak sah bila niat mendahului atau mengakhiri. Tetapi bagi Imam Qaffal (pengikut madzhab Syafi'i), niat pada awal takbir itu sah hukumnya.
Dikutip verbatim dari KH. Munawwir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, hlm. 35-38.
Catatan
Lihat Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid 4, hlm. 238
Lihat al-Asybáh wa an-Nazhair, hlm. 25
Lihat al-Mizan li as-Sya'rany, Juz I hlm. 148
Komentar
Posting Komentar