Tanya:
Mau tanya Pak Kiai.
1. Orang sakit keracunan dibawa ke rumah sakit, tiga hari tiga malam tidak sadar, lalu meninggal dunia. Jadi dalam tiga hari tiga malam itu dia tidak mengerjakan salat. Ahli warisnya ingin menggantinya dengan beras yang akan diberikan kepada orang-orang miskin. Bisakah itu diterima dalam hukum Islam?
2. Hampir sama dengan di atas, hanya saja si sakit itu misalnya sembuh (tidak meninggal seperti kasus di atas). Bisakah dia mengqadhai salat yang ditinggalkannya itu?
Mohon penjelasan dan terima kasih.
(Moch. S - Kendal)
Jawab
Karena hampir sama, baiklah kedua pertanyaan Anda akan saya jawab "bersama-sama".
Pertama, Anda mengatakan bahwa si sakit dalam tiga hari tiga malam tidak sadar, lalu meninggal. Jadi sebenarnya, dalam tiga hari tiga malam itu, dia tidak kewajiban salat. Sebab salah satu syarat wajibnya salat adalah sadar. Demikian menurut para ahli hukum Islam (fikih) berdasarkan antara lain hadis:
رفع القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتی يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود وابن ماجه)
Yang terlepas dari hukum ada tiga macam: (1) Anak-anak sampai hdigh, (2) Orang tidur sampai ia bangun, (3) Orang gila sampai ia sadar. "(HR. Abu Dawud da Ibnu Majah).
Seandainya dia tidak terus meninggal, seperti dalam pertanyaan Anda yang kedua, menurut jumhur ulama fikih, dia mengqadhainya. (Lebih lanjut lihat Bidayah Al-Mujtahid hal. 182 dan Ensiklopedi Ijmak hal. 529). Ini berdasarkan beberapa hadis yang menyatakan bahwa orang yang ketiduran dan meninggalkan salat harus mengqadhainya setelah bangun.
Nah, barangkali dari uraian singkat di atas, Anda sudah mendapatkan gambaran mengenai kewajiban atau tanggungan salat seorang hamba.
Akan halnya ahli waris yang ingin mengganti tanggungan salat almarhum dengan beras, tentulah lantaran rasa sayang dan kehati-hatian mereka terhadap keselamatan "yang pergi", lalu "menganalogkan" dengan orang yang meninggal dan mempunyai tanggungan puasa. Kan Nabi Saw. menyuruh wali atau warisnya supaya mengqadhakannya. Bahkan menurut hadis Ibnu Abbas dar Imam Muslim, jelas-jelas Rasulullah menyamakan puasa yang ditinggalkan orang yang meninggal itu seperti utang yang dengan demikian harus dibayar juga oleh warisnya. Bacalah hadis yang diceritakan Ibnu Abbas r.a. ini:
أن امرأة قالت: يا رسول الله إن أمي ماتت وعليها صوم نذر فأصوم عنها؟ قال: أرأيت لو كان على أمك دين فقضيته أكان يؤدي ذلك عنها؟ قالت: نعم، قال فصومي عن أمك (رواه مسلم
"Sesungguhnya orang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah Saw.: Ya Rasulullah, Ibu saya telah meninggal dunia sedang masih mempunyai tanggungan puasa nadzar yang belum ditunaikanya?' Rasulullah Saw. pun menjawab: Katakanlah padaku seandainya ibumu mempunyai utang, kemudian engkau bayar utangnya itu, adakah terbayar utang ibumu itu?' Ya; kata perempuan itu. Rasulullah Saw. bersabda: Berpuasalah engkau ibumu." (HR. Muslim)
Sebenarnya penalaran ini tidak berlebih-lebihan: puasa adalah kewajiban dan salat juga kewajiban jika puasa bisa bahkan harus dibayar, salat juga demikian.
Namun masalah dalam hukum fikih tentu tidak sesederhana itu. Apalagi yang Anda tanyakan bukan mengqadhai salat, tapi mengganti beras oleh ahli waris.
Yang dimaksud dengan "mengganti beras" tentunya: fidyah. Fitrah adalah semacam tebusan yang dalam kaitannya dengan puasa dijadikan semacam pengganti puasa bagi mereka yang tidak kuat melakukannya, berupa memberi makan orang-orang miskin. Sebagaimana Firman Allah:
أياما معدودات فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين (البقرة: ۱۸۵ )
Yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalan (lalu ia berbuka), maka mutlah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (untuk memberi makan seorang miskin." (QS 2, Al-Baqarah: 184) Atau dalam kaitan ibadah haji, berupa puasa, sedekah, atau nusuk, sebagai tebusan terhadap pelanggaran amalan haji mencukur rambut sebelum saatnya).
Firman Allah Swt:
وأتموا الحج والعمرة لله. فإن أصرم فما استيسر من الهدي ولا تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محله. فمن كان منك مريضا أو به أذى من رأسه فدية من صيام أو صدقة أو نسك )
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembeliha. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalamu (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkurban. "(QS 2, Al-Baqarah: 196)
Sedangkan memberi makan orang-orang miskin untuk mengganti salat yang ditinggalkan, saya sendiri terus terang belum pernah menemukan dalil atau nashnya.
Wallaahu A lam.[]
Dikutip verbatim dari KH. Ahmad Musthofa Bisri, Fikih Keseharian Gus Mus, Surabaya, Khalista, hlm 238-240.
Komentar
Posting Komentar