Karena Kiyai Memimpin dengan Cinta

Dr. Imam Nakhai

Kiyai kiyai di pesantren, khusunya pesantren yg telah membuktikan selama ratusan tahun sebagai lembaga tafaqquh fiddin, bukan hanya mengajarkan pengetahuan kognitif dengan kemumpunian ilmunya, melainkan juga mengajarkan sikap dan nilai (afektif) dengan keteladannya serta mengajarkan ketrampilan hidup bermasyarakat (psikomotorik) dalam seluruh dimensi kehidupannya. 

Jauh sebelum teori teori pendidikan dirumuskan, kiyai kiyai pesantren telah mengenal dan mengajarkannya. Kiyai kiyai pesantren bukan hanya mengatakan tapi mencontohkan. Bukan hanya berdakwah tetapi menyertakan dengan tingkah, bukan hanya berteori melainkan digaris terdepan ia berdiri. Intinya kiyai kiyai bukan hanya mengajarkan ketuhanan tetapi juga kemanusian. Ketuhanan adalah akar dan tonggak nya, sedang kemanusiaan adalah dahan, ranting, dedaunan dan buahnya.

Itulah mengapa alumni alumni pesantren, sejak keluar dari pagar pesantren, umumnya memiliki semangat yg tinggi untuk berjuang, mengembangkan pendidikan, gerakan dan bahkan ekonomi ummat, sekalipun tampa sentuhan santunan dari Negara. Bahkan banyak alumni pesantren yg sama sekali enggan membebani negara, sebaliknya berkontribusi besar membangun keadaban negara. Olehnya wajar, jika negara saat ini, walaupun sesungguhnya terlambat, memberikan penghormatan pada kaum santri dengan ditetapkannya tgl 22 Mei sebagai hari santri.

Apa kunci keberhasilan kiyai? Secara sederhana bisa dikatakan; karena kiyai mengajar dan memimpin dengan cinta, dengan hati dan ketulusan. Dalam kasih sayang dan perhatian, Kiyai memperlakukan semua santri sebagai mana putra putrinya sendiri. Tapi tidak dimamfaatkan sebagaimana miliknya. 

Umumnya pendidikan dalam  pesantren adalah tarbiyah oriented, berbiaya sangat murah. Sekalipun saat ini ada juga yg mahal. Saking murahnya, kadang sarana prasarana pendidikan pesantren cenderung apa adanya. Kursi kursi yg tidak pernah berdiri tegak, meja yang goyal gayel, papan tulis yg tidak jelas antara hitam dan putih,  busana guru dan juga santri yg jauh dari kata mewah, sarung yang ngeper ngeper dll.

Yang menarik tetapi unik, kitab kitab pegangan guru tidak pernah berubah selama pulahan tahun, sekali fathul qarib  maka akan terus fathul qarib. Sampai sampai kitab sang ustad  lusuh, tidak kelihatan lagi apakah itu kitab fathul qarib atau kitab soetasoma. Tidak seperti pendidikan SD, SMP, SMA yg hampir tiap tahun berubah "muatannya, penulis, penerbit dan pemegang proyeknya".

Jika ingin melahirkan generasi tangguh, khaira ummat, maka teladani Sang Kiyai "mengajar dengan cinta", bukan hanya mengisi otak dan watak, melainkan qalbu dan ruh.



Baca Juga

Komentar