Oleh Ainur Rofiq Al Amin
Masalah kreatvitas dalam pengolahan ilmu, orang Nusantara sangat lihai. Kalau senjata tajam di negara-negara Arab, pada umumnya kisahnya hanya berkait dengan ketajaman saja, tapi kalau di Indonesia bisa lebih dari ketajaman, mulai dari ramuan racun hingga kekuatan mistisnya.
Para agamawan pemelihara tradisi Nusantara seperti Walisongo juga pandai mengelola hal sejenis agar berkemistri dengan masyarakat sehingga dakwahnya tidak serasa "menggurui" atau memandang sebelah mata terhadap kreasi asli masyarakat Nusantara.
Pun demikian dengan para tokoh NU. Contohnya adalah Mbah Kiai Wahab Chasbullah yang tidak hanya mengapresiasi tradisi baik yang ada di Nusantara terkait dengan relasi politik dan kemasyarakatan seperti yang ditulis di buku Tambakberas dengan istilah "keris keras" untuk keberanian maju menghadapi musuh, atau istilah cancut taliwondo yang sudah terkenal dalam saran Mbah Kiai Wahab kepada Presiden Soekarno untuk pembebasan Irian Barat dari Belanda.
Tapi lebih dari di atas, apresiasi tradisi beliau hingga ke masalah ilmu "sepuh atau tetuo", termasuk ilmu kesaktian. Adakalanya Mbah Kiai Wahab meramu ilmu yang asli berlafal Jawa semisal untuk menolak gangguan mahkluk gaib.
Namun perlu diingat, bukan berarti Mbah Kiai Wahab tidak mempunyai ilmu berbahasa Arab untuk menolak gangguan gaib, banyak sekali. Misalnya sholawat Masyisyiyyah digunakan Mbah Kiai Wahab agar dibaca para santri Bahrul Ulum di saat para santri di pondok lor Tambakberas hampir seluruhnya kemasukan jin. Atau di saat lain KH. Sholeh Abdul Hamid disuruh memindah jin dengan cara digendong kayak gendong bayi orang di Nusantara.
Adakalanya Mbah Kiai Wahab menyebut ilmu yang beredaksi Arab dengan sebutan bahasa Nusantara. Dalam riwayat KH. Chudlori, Mbah Wahab menyebut faedah sebuah ayat sebagai ilmu Pancasona. Dalam narasi KH. Abdul Adhim Mbah Wahab menyebut doa berbahasa Arab dengan sebutan ilmu Sepi Angin.
Dalam tulisan KH. Bisri Musthofa, Mbah Kiai Wahab menyebut ilmu yang juga berbahasa Arab dengan nama ilmu Lembu Sekilan. Padahal ilmu itu jalur sanadnya dari KH. Mahfudz Attarmasi dan KH. Syamsul Arifin Situbondo yang berasal dari Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani. Sekalipun di saat pengijazahan di lain waktu, Mbah Wahab hanya menyebut ilmu itu sebagai ilmu untuk menghadapi bahaya besar seperti yang disampaikan oleh KH. Faiq bin KH. Hasyim Idris (Kiai Hasyim beristri Nyai Fathimah binti Chasbullah). Kepada para sesepuh kita semua lahumul Fatihah...
Komentar
Posting Komentar