Oleh KH. Zainal Abidin Munawwir Krapyak
Ceramah ini disampaikan dalam acara Halal Bi Halal pada tanggal 16 Maret 1995 pukul 21.00 WIB di depan santri dan Keluarga Besar Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Jogjakarta.
Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Alhamdulillah, bahwa pada hari ini kita dapat mengadakan halal bi halal secara bersama-sama. Dan nanti kita akhiri majlis pertemuan ini dengan bermushofahah. Cuma yang putra dengan yang putra dan yang putri dengan yang putri.
Sebelumnya mari kita mengenang kembali hikmah dari pada halal bi halal atau tarodli (saling memberi ridlo). Namun yang sangat mendasar bahwa halal bi halal atau minta ridho itu adalah sebagai wasilah untuk pengamanan amal kita.
Sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam:
إن المفلس من أمتي من يأتي يوم القيامة بصلاة وصيام وزگاة، ويأتي وقد شتم هذا وقف هذا وأكل مال هذا وسفك دم هذا وضرب هدا ، فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته . .. الحديث (إعانة الطالبين
Artinya : Orang yang miskin dari umatku ialah orang yang kematiannya tanpa amal atau sekalipun waktu kematiannya. Ia banyak membawa amal tapi akhirnya habis, sehingga orang tersebut dimasukkan neraka.
Jadi banyak amal pula yang dibawa waktu kematiannya, seperti: sholat, puasa, zakat dan lainnya. Namun karena banyaknya kesalahan terhadap sesamanya, sehingga tidak mungkin untuk menutup kesalahannya kecuali dengan memberikan amal baiknya pada teman dia tersebut. Atau dalam kata lain, orang yang dianiaya, kejelekannya diambil, lalu dipindahkan pada orang menganiaya tadi. Dan akhirnya bukan hanya amalnya yang habis, bahkan membawa kejelekan yang menyebabkan orang tersebut dimasukkan neraka (wal 'iyadzu billah). Inilah hikmah atau rahasia dari pada saling halal bi halal.
Untuk pelaksanaan halal bi halal ini ndak akan mungkin bisa dilakukan secara tulus atau murni kalau orang tidak beriman atau tidak mempercayai akan adanya pembalasan amal di akhirat, sehingga hanya orang-orang mukminlah yang mungkin untuk bisa menyelenggarakan halal bi halal secara murni.
Cuma kita juga masih Alhamdulillah, yang mana kita sering mendengar dan melihat kelompok-kelompok baik itu di pemerintahan maupun di masyarakat kalangan perkampungan. Di samping itu juga diikuti pula halal bi halal tersebut oleh orang-orang yang nonmuslim, maka ndak akan mungkin mereka bisa melakukannya secara baik. Tentu saja halal bi halal yang mereka lakukan hanya sekedar simbolis (ngemong pergaulan). Sebab mereka tidak percaya akan adanya pembalasan amal di akhirat. Padahal halal bi halal yang penting hikmahnya untuk pengamanan amal kita masing-masing.
Dalam pelaksanaannya ini pun perlu dilakukan setiap saat kita berbuat kesalahan pada sesama teman. Begitu itu ibarohnya hadits dari Rasulullaah Shallallaahu Alaihi Wasallam.
من كان عنده مظلمة لأخيه من عرضه أو من شيء فليتحل منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم
Artinya: Barang siapa yang merampas hak milik saudaranya baik berupa kehormatan atau harta benda, maka hendaklah dia minta kepada kepadanya, atau minta halalnya atau menghukumnya sebelum ditindak oleh musuh-musuhnya pada hari tidak ada dinar dan dirham (Durrolun Nasihin hal, 101)
Jadi orang yang berbuat kesalahan terhadap temannya baik itu kesalahan yang bersifat material, seperti mengambil barang orang lain atau menggunakan harta benda milik orang lain, maupun yang bersifat 'irdli atau maknawi, seperti: mencaci, ngrasani dan hal yang semacam itu maka supaya minta ridlo dan halalnya saat itu.
Jadi jangan sampai lalu halal bi halal hanya ditangguhkan setiap Syawwal seperti ini, ya kalau hidupnya masih sampai Syawwal, Iha kalau tidak bagaimana?
Dan di samping itu pula jangan sampai merasa malu atau enggan. Sebab kalau malu sekarang, besok akan lebih malu di akhirat nanti. Sehingga kalau misalnya seorang kyai berbuat khilaf terhadap santrinya ya harus minta ridlo halalnya. Demikian juga seorang ayah atau orang tua yang berbuat salah terhadap anak cucunya.
Atau bisa juga seorang komandan misalnya, ya ndak boleh malu untuk minta ridlo halalnya kepada warganya kalau memang berbuat kesalahan terhadap warganya.
Pernah terjadi pada seorang ibu yang kebetulan dia mempunyai kesenangan membaca buku tarjamah pegon, akan tetapi seorang ibu tersebut mempunyai watak dan sifat malu kalau sampai bertanya walaupun dalam keadaan keliru. Pada suatu ketika seorang ibu tersebut membaca kisah dari para Nabi.
Waktu itu kebetulan yang dibaca riwayat tentang kejadiannya Nabi Adam Alaihissalam. Dalam hatinya dia merasa keheran-heranan, namun akan bertanya pada cucunya mulanya malu sebab itu sudah menjadi wataknya. Tapi waktu itu terpaksa bertanya sebab ndak bisa menahan kejanggalan.
Dalam hatinya berkata : Nabi Adam itu seorang Nabi kekasih Allah, apalagi Nabi Adam seorang yang diciptakan Allah pertama kali, tapi mengapa bahan pokok ciptaannya Nabi Adam itu kok dari entut? Itulah yang dirasa janggal akhirnya tarjamah itu diperlihatkan pada cucunya, Kemal.
Cucunya malah tertawa, bilangnya: "Mbah, bacanya bukan entut, tapi endut (tanah)." Jadi orang yang sudah agak tua itu membacanya jelas, di samping pandangannya sudah berkurang lembaran kertasnya sudah agak rapuh sedikit, sehingga yang mestinya diciptakan dari endut dibaca entut. Setelah itulah lantas seorang ibu tersebut hilang rasa malunya bertanya.
Seperti itu pula yang diajarkan dari pada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, yang mana pada waktu itu beliau sudah dalam keadaan sakit. Tapi ingat! Sakit ya sekalipun sakit itu dobel beratnya dengan yang menimpa manusia biasa, sehingga kalau itu pusing ya tentu saja dua kali pusing, namun demikian, semua macam penyakit yang dialami atau yang menimpa diri dari pada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam ndak akan menghalang-halangi dalam rangka pelaksanaan tablighnya. Sehingga sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap hadir di tengah-tengah jama'ah dan memberikan atau menyampaikan petunjuk.
Pada suatu ketika, di mana beliau sedang di hadapan para shahabat, waktu itu juga sudah dalam keadaan sakit. Lalu beliau menanyakan: "siapa di antara kalian yang belum menerima bagian rampasan perang atau ghonimah padahal ikut perang?". Lalu ada yang mengacung. Beliaupun segera memerintahkan shahabatnya agar orang tersebut segera diberi bagian. Lalu beliau menanya pula : "siapa yang pemah aku sakiti?". Lalu ada yang mengacung dan berkata: "Kami yang Rasulullah! Kami pernah engkau dudul". Setelah ada yang mengaku pernah didudul, Rasulullah Shallallaahu 'Alai Wasallam segera membukakan bajunya dan memperlihatkan perutnya, kemudian seraya memerintahkan agar o membalas ndudul atau menusuk usuk perut Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Memang sudah biasa kalau di dalam membariskan shaf-shaf jama'ah atau prajurit kalau ada yang terlalu ke muka atau tidak lurus lalu diluruskan oleh Rasul dengan cara diduduli.
Jadi kejadian cerita di atas tersebut merupakan keagungan beliau. Beliau tidak malu untuk dibalas umatnya Dan ini sebagai pelajaran bagi kita semua supaya tangan sampai punya rasa malu untuk minta halal nidlo kepada teman-temannya atau bawahannya.
Kemudian yang paling penting untuk kita mintakan ridlo halalnya yaitu : kekhilafan, baik yang berkaitan dengan sifat material maupun yang spiritual. Kalau toh kita berbuat sesuatu tanpa menurut syari'at yang benar, maka kita harus segera minta ridlo dan halalnya kepada yang bersangkutan.
Yang berupa material seperti : mengambil atau menggunakan barang milik orang lain tanpa izin, termasuk pula nggoshob, walaupun cuma sandal atau ketel, ataupun karena transaksi atau apa yang tidak menurut aturan secara Islam, seperti menjual benda dengan harga Rp. 1000. padahal benda itu terdapat cacat, sehingga kalau kita perlihatkan cacatnya dan pembelinya tahu paling-paling cuma laku Rp. 600, tapi menjadi laku Rp. 1000. Lha, itu yang Rp. 400 ndak halal.
Termasuk pula meminjami dengan menarik keuntungan atau menjual benda-benda yang tidak semestinya kita jual belikan, atau kerja sebagai tukang gurah, (gurah itu dicori/disoki pada lobang hidungnya, lalu nanti mengeluarkan lendir dan akhirnya bersih sehingga suaranya itu bisa nyaring), kemudian yang gurah ya siapa saja atau macam macam orangnya. Termasuk pula penyanyi atau sinden (yang biasa nyanyi jawa itu loh). Nah, itu ndak halal hasilnya, sebab pekerjaannya juga ndak halal karena membantu sinden, sehingga karena ndak halal yang harus dikembalikan
Sekalipun hanya menjadi tukang pijat, tapi yang dipijat biar kuat, padahal permainan tinju itu kan ndak boleh menurut hukum Islam sebab pemukulan wajah.
Sehingga tukang pijat tadi uangnya tidak halal. Termasuk misalnya kerja sebagai tukang becak, tapi yang diantar kebetulan WTS yang akan ke lokalisi, uangnya juga ndak halal. Jadi kesimpulannya bahwa semua harta benda yang peroleh tidak melalui saluran yang benar atau sah, harus dikembalikan dan minta halal ridhonya.
Sedangkan yang bersifat 'iri atau maknawi mencaci, memfitnah, ngrasani, dan termasuk pula melihat lain jenis yang bukan mahrom, apalagi yang dilihat itu sudah punya suami, kita harus minta halal ridhonya.
Nah, yang penting kalau kita akan minta halal ridlon itu sudah ndak mungkin, karena orangnya sudah tidak ada terus halal bi halalnya itu bagaimana? Kalau memang sudah tidak ada atau tidak kita ketahui tempatnya, maka caranya begini: kita doakan dan kita mintakan ampunan pada Allah biar mendapat ampunan dari Allah. Lalu kalau kesalahan itu berupa harta benda, padahal kalau akan kita mintakan halal ridlonya pada yang bersangkutan sudah tidak mungkin karena sudah tidak kita ketahui tempatnya atau sudah meninggal padahal ndak punya ahli waris, itu caranya : harta benda tersebut kita shodaqohkan pada teman kita yang fakir miskin dengan niat semoga Allah besuk akan mengembalikan. Jadi ndak boleh lalu kita sokongkan pada pembangunan Masjid atau madrasah jangan- kasihan masjidnya atau madrasahnya.
Kemudian untuk contoh yang lain seperti : taubatnya orang-orang yang tukang meramal judi, dia pernah mendapakan hasil dari peramalannya. Padahal setelah taubat kan harus mengembalikan hasil peramalan tersebut, dan kalau akan dikembalikan pada yang punya sudah tidak mungkin, sebab baik uangnya atau orang yang judi kumpulan dari berbagai macam. Maka caranya cukup serahkan pada fakir miskin dengan niat semoga Allah besok yang mengembalikannya pada yang punya.
Pernah saya alami pula kejadian yang serupa ini, yaitu waktu saya akan silaturahmi ke kakaknya Pak Kyai Dalhar di Kempek Jawa Barat. Pada waktu itu bersama dengan Pak Aabar dan Pak Kyai Mufid. Ketika akan naik bus menuju Kempek, Pak Mufid tadi beli salak dulu. Setelah sampai di Kempek dan mau turun kemudian saya ingat bahwa Pak Mufid tadi beli salak. Lalu keranjang yang ada di dalam bun Ma juga isinya salak kemudian saya turunkan. Setelah turun tiba saya lihat Pak Murid juga sudah membawa keranjang isi salak. Jadi yang saya bawa tadi keranjang penumpang lain. Kalau akan saya kembalikan sudah ndak mungkin, lalu salak tadi saya serahkan kepada santri dengan niat semoga Allah besuk yang mengembalikan.
Kemudian kalau kesalahan itu berupa maknawi, seperti: mencaci, ngrasani dan semisal, cukup kita minta ridlonya dan pengampunannya. Lha, kalau kita minta pengampunan itu akan mendatangkan penderitaan pada diri kita, seperti kesalahan mengajak pacaran istri orang lain -taubatnya kita kan harus minta ridlonya pada suaminya, lha kalau kita minta ridlonya tentu akan dipukuli, itu caranya ndak usah secara langsung. cukup kita mintakan ampunan pada Allah, dan semoga diampuni oleh Allah tanpa kita bertemu langsung pada sang suami itu.
Inilah yang sangat perlu kita fahami bersama. Dengan harapan dan doa semoga pertemuan pada acara halal bi halal malam hari akan membawa barokah dan kemanfaatan pada diri kita bersama, Amiin. Dan mari kita akhiri pertemuan kita ini dengan memanjatkan doa.
Wassalamualiakum warahmatullah wa barakakatuh.
Komentar
Posting Komentar