Aziz Anwar Fakhruddin
Tentang meme ini, saya bagi di sini utas yang baru saya sampaikan di Twitter.
Penerjemahan di meme ini tidak tepat, keluar konteks, dan bisa berimplikasi pada pengharaman ilmu yang tidak bisa dihindari untuk dipelajari.
Redaksi asli dari as-Syafi'i tidak memakai kata "filsafat", tapi "kalam". Bunyi teksnya:
ما شيء أبغض إلي من الكلام وأهله
Sila cek dari sumber yang sama dengan yang dirujuk meme ini, yakni "Tarikh al-Islam" karya ad-Dzahabi: https://books.google.co.id/books?id=CtorCwAAQBAJ&pg=PT331&dq#
Jika setia dengan teks sumber, mestinya yang 'diharamkan' adalah ilmu kalam. Terjemahan yang pas ialah: "Tidak ada yang lebih aku benci dibanding kalam dan ahli kalam."
***
Namun, setiap orang yang belajar akidah lalu sampai pada bab tentang sifat-sifat Allah, ia tak akan bisa menghindari ilmu kalam. Disebut ilmu "kalam" karena dulu ada polemik panas mengenai apakah "kalam" Allah itu makhluk atau bukan. Pertanyaan ini tak bisa dihindari dalam pelajaran akidah, dan pelajar akidah tak bisa mengelak untuk tidak menjawabnya dengan ilmu kalam. Bagaimana mau diharamkan kalau tak bisa dihindari?
Permisalan: "ahli kalam" bertanya, jika kalam Allah itu bukan makhluk, berarti qadim (tanpa permulaan). Tapi Dzat Allah juga qadim. Bagaimana bisa ada dua qadim (ta'addud al-qudama')? Coba, "manhaj salaf" (kontra-Asy'ariyah), dengan tanpa ilmu kalam, akan menanggapi pertanyaan ini seperti apa? Pengen tahu saya.
Salah satu kitab biografi as-Syafi'i ialah "Manaqib as-Syafi'i" karya al-Baihaqi. Di kitab ini, al-Baihaqi memberi komentar (syarah) bahwa perkataan as-Syafi'i itu lahir dari perdebatan dengan Hafsh al-Fard, orang yang menafikan sifat-sifat Allah.
Dengan melihat konteks, "kalam" di pernyataan as-Syafi'i itu merujuk secara khusus, yakni pada kaum qadariyyah dan 'nufat as-shifat' (para penyangkal sifat-sifat Allah). Keterangan dari al-Baihaqi ini juga dinukil oleh Ibn Taymiyyah, "syaikhul Islam" yang amat dipuja oleh akun "manhaj salaf" pembuat meme. Sila cek: http://islamport.com/w/tym/Web/3223/753.htm
"Manaqib as-Syafi'i" juga menceritakan as-Syafi'i muda pun belajar kalam, sebab sebagian gurunya adalah ahli kalam. Hal lain: di IG post-nya, pembuat meme itu merekomendasikan kitab al-'Aqidah at-Thahawiyyah. Sebagian isinya ya ilmu kalam. Masa mau mengharamkan ilmu yang dipelajari sendiri?
Narasi "manhaj salaf" (pembuat meme) ini cukup mudah ditengarai, yakni ingin membenturkan keyakinan/praktik para pengikut as-Syafi'i dengan perkataan as-Syafi'i sendiri, yang dalam kasus meme ini penerjemahannya tidak tepat dan keluar konteks.
Narasi lain "manhaj salaf": Asy'ariyyah sama saja dengan Mu'tazilah dan liberal. Dan ini terjadi karena belajar filsafat. Lihat tulisan dari ustadz yang diikuti "manhaj salaf" itu: https://firanda.com/869-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-8-haramnya-ilmu-filsafat.html
Padahal, Asy'ariyyah menyesatkan Mu'tazilah dan mengkafirkan sebagian filsuf Aristotelian. Jadi, persetan dengan perselisihan keras di antara tiga golongan ini, pada intinya mereka sama-sama anti-"manhaj salaf" dan karenanya sesat. Kurang lebih begitu pandangan ustadz yang diikuti "manhaj salaf" ini.
***
Khusus menyangkut filsafat, diskursus "salafi" cenderung membencinya karena filsafat membuat orang jadi banyak bertanya dan doyan mengkritik.
Tapi, ketahuilah bahwa ada terkata dalam mahfuzhat terkenal: "as-su'al nishf al-'ilmi", pertanyaan (yang baik) ialah setengah dari ilmu.
Juga ada cerita: Ibn 'Abbas suatu kali pernah ditanya, "Bagaimana engkau mendapatkan ilmu?" Jawabnya, "Bilisan sa'ul waqalb 'aqul" (Dengan lisan yang banyak bertanya dan hati yang berakal).
Satu bagian dari filsafat ialah ilmu logika (manthiq)—setidaknya demikianlah ia dipahami dalam diskursus Islam abad pertengahan. Tentang logika, nazham as-Sullam al-Munawraq berkata: "Waba'du fal-manthiqu lil-janani # nisbatuhu kan-nahwi lil-lisani." Artinya: hubungan antara manthiq (logika) dengan pikiran ialah seperti nahwu (gramatika) dengan bahasa.
Filsafat berguna merumuskan pertanyaan yang baik (yang menjadi awal dari ilmu) dan, dengan piranti logika, menertibkan pikiran untuk menjawab pertanyaan itu. Jika bukan dengan logika, yang merupakan cabang filsafat, dengan apa lagi kita berpikir?
Bilamana ada sejumlah bagian dari produk-produk pemikiran filsafat yang tidak berguna, maka berlaku kaidah "khudz ma shafa wa da' ma kadara" (ambil yang jernih, tinggalkan yang keruh).
Atau kaidah lain: "ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh" (yang tak bisa didapat seluruhnya, jangan tinggalkan semuanya).
'Ala kulli hal, ini nasihat kepada "manhaj salaf": tidak ada dampak terhadap citra Islam bagi pembuatan meme semacam ini kecuali semakin menunjukkan bahwa Islam itu agama taklid buta dan anti-intelektualisme.
-------------
Duh, saya merasa seperti kembali jadi diri saya bertahun-tahun lalu. Agak enggan menanggapi, karena malas terjebak dalam debat teks klasik yang tak berkesudahan. Tapi ya, demi menjernihkan yang keruh dalam permedsosan +62, sesekali kayaknya tak apa-apa. Apa sih yang enggak buat kamuh?
Komentar
Posting Komentar