M. Luthfi Bashori
Yang dimaksud Khilafah 'Aamah adalah seluruh dunia dipimpin oleh seorang Khalifah. Padahal saat itu, sudah terjadi adanya dua orang penguasa dalam satu priode, yang kedua-duanya 'minta' dipanggil Khalifah, walaupun bukan khalifah yang hakiki.
Sejarah mencatat, bahwa pasca wafatnya Yazid bin Mu'awiyah, maka terjadi perpecahan dalam kekuasaan di kalangan tubuh umat Islam.
Hal ini membuktikan bahwa sistem Khilafah 'Aamah mulai ditinggalkan oleh para penguasa di jaman itu, atau jaman Dinasti Umayyah. Seperti terjadinya Kekhalifahan Tandingan Ibnu az-Zubair.
Namanya rezim tandingan itu, pasti ada rezim lain yang ditandingi dalam satu jaman.
Berarti saat itu bisa dikatakan, telah terjadi adanya dua khalifah, jika mengikuti istilah panggilan bagi para penguasa di jaman itu secara umum.
Sebagaimana sejarah mencatat, bahwa setelah wafatnya Yazid serta mundurnya pasukan Umayyah, maka Ibnu az-Zubair secara de facto menjadi penguasa Hijaz dan seluruh semenanjung Arab, dengan ibu kota di Makkah.
Ia secara terbuka menyatakan dirinya khalifah bagi seluruh umat Islam, dan kawasan Irak serta Mesir pun lalu tunduk padanya.
Ia mengirimkan wali negeri ke Mesir serta Kufah dan Bashrah di Irak. Posisi wali negeri Bashrah dipegang oleh adiknya Mush'ab.
Koin mata uang dengan mencantumkan namanya juga dicetak di kawasan selatan Persia (Fars dan Kirman), tetapi sebagian daerah Syam tetap berada di bawah kekuasaan Umayyah, rezim lama.
Dari peristiwa ini, menunjukkan bahwa sistem khilafah 'aamah, mulai ditinggalkan oleh para penguasa di kalangan umat Islam, khususnya sejak pasca wafatnya Yazid bin Mu'awiyah. Maka yang terjadi adalah naiknya para pembesar dinasti demi dinasti atau penguasa demi penguasa, bukan lagi seorang khalifah yang mengikuti aturan Syariat Nabi dan mencontoh dari pemerintahan Alkhulafa-ur Rasyidun sebelumnya.
Setelah wafatnya Yazid, kekhalifahan Umayyah berpindah ke tangan putranya yang telah ia tunjuk, Muawiyah II. Namun, kekuasaan Muawiyah bin Yazid hanya terbatas ke sebagian wilayah Syam.
Setelah jatuhnya Mesir dan semenanjung Arab ke tangan Ibnu az-Zubair, para pemuka Irak mengusir wali negeri Umayyah Ubaidullah bin Ziyad.
Beberapa bulan kemudian, Muawiyah bin Yazid meninggal tanpa penerus yang jelas.
Banyak kabilah-kabilah Syam bagian utara, dipimpin kabilah Banu Qais, serta wali negeri di berbagai distrik Syam yaitu Hims, Qinnasrin, dan Filastin (Palestina), yang berpindah ke kubu Ibnu az-Zubair.
Bahkan Wali Negeri Damaskus Dahhak bin Qais serta beberapa pemuka Umayyah termasuk Marwan bin al-Hakam, juga mempertimbangkan untuk tunduk pada Ibnu az-Zubair.
Sedangkan, tokoh utama pendukung Muawiyah II adalah Ibnu Bahdal, seorang panglima militer dan pemimpin kabilah pro-Umayyah Banu Kalb.
Ia berkuasa di distrik al-Urdunn (Yordania) dan memiliki pendukung di sebagian Damaskus.
Ibnu Bahdal memiliki ikatan pernikahan dengan keluarga para khalifah Umayyah sebelumnya, dan memiliki kedekatan dengan istana.
Ia ingin mengangkat adik Muawiyah, Khalid bin Yazid, sebagai khalifah.
Di sisi lain, Ibnu Ziyad membujuk Marwan untuk mengajukan diri karena Khalid dianggap terlalu muda untuk menjadi khalifah.
Setelah perdebatan, Marwan diangkat sebagai khalifah oleh sebuah syura di kalangan pro-Umayyah di Jabiyah pada bulan Juni 684.
Pihak pendukung Ibnu az-Zubair di Syam menolak kekuasaan Marwan dan kedua kubu berhadapan dalam Pertempuran Marj Rahith dekat Damaskus pada bulan Agustus 684.
Para pendukung Ibnu Az-Zubair yang dipimpin oleh Dahhak bin Qais mengalami kekalahan, dan banyak anggota serta pimpinannya tewas.
Naiknya Marwan menjadi titik balik di Syam karena ia berhasil mengukuhkan kekuasaan Umayyah di daerah tersebut. Ia mulai beralih mengembalikan kekuasaan Umayyah di wilayah lain.
Marwan dan anaknya Abdul Aziz bin Marwan mengusir wali negeri Ibnu az-Zubair di Mesir dengan bantuan kabilah setempat.
Serangan Mush'ab bin Az-Zubair ke Palestina berhasil dipatahkan dan pihak Umayyah melancarkan serangan ke Hijaz tetapi dikalahkan di dekat Madinah.
Marwan wafat pada April 685 dan digantikan oleh putranya Abdul Malik.
Pada masa sekitar kematian Yazid, wali negeri Umayyah di Sijistan (kini timur Iran) Yazid bin Ziyad mengalami pemberontakan dari Dinasti Zunbil, penguasa bawahan Umayyah di Zabulistan, ujung timur kekhalifahan.
Para pemberontak berhasil menawan saudara sang wali negeri, Abu Ubaidah. Yazid bin Ziyad menyerang kubu Zunbil tetapi kalah dan terbunuh.
Saudaranya yang lain, Salm bin Ziyad, wali negeri Khurasan (kini di utara Iran serta sebagian Asia Tengah dan Afganistan), mengirim Thalhah bin Abdullah al-Khuazi sebagai wali negeri Sijistan yang baru.
Thalhah membayar tebusan untuk membebaskan Abu Ubaidah, tetapi meninggal tak lama setelah itu.
Pudarnya kekuasaan pusat kekhalifahan Umayyah, mengakibatkan meletusnya konflik antar kabilah-kabilah Arab yang menempati kawasan ini pasca penaklukan oleh Umayyah.
Penerus Thalhah yang berasal dari suku Rabi'ah ditentang dan disingkirkan oleh suku saingannya Banu Mudhar.
Perang antar suku berlanjut hingga setidaknya akhir tahun 685, saat wali negeri dari Ibnu az-Zubair yang bernama Abdul Aziz bin Abdullah bin Amir datang. Ia menghentikan perang antar suku dan memadamkan pemberontakan Zunbil.
Di Khurasan, Salm menyembunyikan berita kematian Khalifah Yazid, hingga akhirnya diketahui secara umum. Ia lalu meminta baiat terhadap dirinya sendiri, tetapi tak lama kemudian ia diusir dari Khurasan pada pertengahan 684.
Ia menunjuk seorang Banu Mudhar bernama Abdullah bin Khazim al-Sulami sebagai wali negeri Khurasan.
Ibnu Khazim mengakui kekuasaan Ibnu az-Zubair, tetapi kekuasaannya terganggu oleh perang antara suku Rabi'ah dan Banu Mudhar.
Suku Rabi'ah menolak kekuasaan Ibnu az-Zubair karena permusuhannya terhadap Ibnu Khazim dan Banu Mudhar. Ibnu Khazim berhasil memadamkan perlawanan suku Rabi'ah tetapi lalu menghadapi pemberontakan dari Banu Tamim.
Perang antar suku di Khurasan berlanjut bertahun-tahun dan Ibnu Khazim terbunuh pada 691.
Kekuasaan Ibnu az-Zubair di wilayah ini hanya ada di atas kertas, terutama di Khurasan karena Ibnu Khazim bertindak hampir layaknya penguasa merdeka.
Demikian sedikit dari cuplikan sejarah yang membuktikan sistem khilafah yang selalu digaungkan oleh HTI, ternyata tidak dapat berkesinambungan antar generasi para Ulama Salaf Shaleh.
Tapi sistem yang pernah berlaku di kalangan umat Islam, pasca era Khilafah 'Aamah saat itu adalah sistem kekuasaan yang lebih dekat dengan sistem kesultanan (kerajaan).
Para ulama Mujtahid khususnya para imam 4 madzhab, juga tidak mengharamkan sistem pemerintahan yang berlaku, pasca wafatnya Yazid bin Mu'awiyah sebagai seorang penguasa di kalangan umat Islam, padahal tidak sesuai dengan aturan Khilafah 'Aamah.
Jikalau jaman itu, sistem khilafah 'aamah sudah tidak diberlakukan lagi di kalangan umat Islam, apalagi di masa sekarang.
Maka sangat gegabah jika HTI berani menghukumi BATAL-nya semua sistem pemerintahan non khilafah, sekalipun jika sudah melaksanakan hukum Syariat Islam dalam konstitusi negara, minimal seperti di negara Brunai Darus Salam.
Kelak di akhir zaman, sistem khilafah yang sesuai dengan hadits-hadits Rasulullah SAW, akan terjadi dan terulang lagi, yaitu jika Imam Mahdi Almuntadhar sudah muncul, dan beliaulah Khalifah bagi seluruh umat Islam yang hidup di muka bumi saat itu.
Adapun, penyebutan sejarah Islam di atas ini, sebagai bukti bahwa klaim HTI itu tidak semuanya benar.
Apalagi sejarah Islam di masa kekhalifahan Alkhulafaur Rasyidun itu sudah sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك
"Kekhilafahan umatku selama 30 tahun, kemudian setelah itu adalah masa kerajaan"
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4646,4647; At-Tirmidzi no. 2226).
Menurut para ulama, durasi 30 tahun itu adalah masa pemerintahan: Sy. Abu Bakar, Sy. Umar, Sy. Utsman, Sy. Ali bin Abi Thalib ditambah 6 bulan Sy. Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Setelah itu, Sy. Hasan menyerahkan kepemimpinannya kepada Shahabat Mu'awiyah, maka sejak itu sistem khilafah sudah tidak dijalankan lagi, yang kalau menurut sabda Nabi, maka yang terjadi adalah sistem kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan di kalangan para penguasa Islam.
Jika suatu negara yang menggunakan sistem Kerajaan lantas dihukumi HARAM atau BATAL, karena dianggap tidak melaksanakan sistem Khilafah 'Aamah, maka hampir semua dinasti terdahulu sejak jaman Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Utsmaniyah dan sebagainya, maka otomatis dianggap telah melanggar Syariat Islam, dan pemerintahan mereka secara otomatis juga dihukumi tidak SAH.
Padahal lahirnya para ulama Imam 4 Madzhab juga di masa-masa kedinastian para penguasa Islam tersebut.
Nah, pengklaiman seperti inilah yg sangat KONTRADIKSI terutama dari pemahaman terkait Khilafah versi HTI.
Komentar
Posting Komentar