Ghibah Haram dan Ghibah Wajib




Oleh Akhmad Musta'in


Kajian K.H. Yahya Cholil Staquf, yang kini menjadi anggota Wantimpres, beberapa waktu yang lalu, sangat menarik untuk diposting ulang. Menurutnya, ghibah memiliki dua ciri kategoris. 
Pertama, pembicaraan di ruang privat (pribadi) tanpa kehadiran sasaran yang dirasani.
Kedua, isi pembicaraan tidak disukai (apabila diketahui) oleh sasaran yang dirasani.

Oleh karena itu, membicarakan kesalahan, cacat atau kekurangan pejabat publik di ruang publik (termasuk di jejaring sosial pada fitur publik), mengenai hal-hal yang relevan (bersangkut-paut) dengan jabatannya, tidak termasuk ghibah, tapi masuk kategori kritik atau teguran, sebab di ruang publik itu diasumsikan semua warga sosial hadir, termasuk si pejabat publik dan/atau para naib (wakilnya).

Kalau saya membicarakan kesalahan Presiden atau sekurang-kurangnya ketidakpuasan saya atas cara-cara Presiden mengelola pemerintahan, maka saya berkeyakinan bahwa hal itu bukan ghibah. Lain halnya kalau SEANDAINYA saya membicarakan kebiasaan seorang pejabat publik (selain imam masjid) tidak cebok setiap kencing, maka itu termasuk ghibah karena yang dibicarakan adalah urusan pribadi yang tidak relevan dengan jabatannya.

Gus Yahya memberikan contoh "khoothib" (bukan khotib), yakni orang yang melamar wanita untuk dinikahi. Khoothib dianjurkan untuk dirasani dan dikupas aibnya di depan perempuan yang dilamar, agar dia tidak menghadapi situasi "beli kucing dalam karung". Meng-qiyas atau menganalogikan dari ini, maka lebih-lebih lagi calon-calon pejabat publik, harus dikupas segala kekurangannya di samping kampanye kelebihan-kelebihannya, karena bahaya salah pilih pejabat publik jauh lebih besar dan lebih luas dampaknya ketimbang salah pilih suami.

Baca Juga

Komentar