Setelah Khawaja Abu Yusuf al-Hamdani, tarekat Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq diteruskan oleh guru tarekat penting yang bernama Khawaja Abdul Kholik al-Ghuzdawani. Dalam kitab Ath-Thoriqah an-Naqsyabandiyah wa A'lamuha, disebutkan bahwa Khawaja Abdul Kholiq al-Ghuzdawani lahir di daerah Ghuzdawan, yang disebut dekat dengan Bukhara, tetapi tidak disebutkan tanggal lahirnya.
Biografinya dalam uraian pendek disebutkan N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis Central Asia & Middle East (BESCA, 2002: 181). Namanya disebut Khawaja bin Abdul Khalik bin Abdul Jamil al-Ghuzdawani. Ayahnya kadang disebut secara salah dengan nama Abdul Jalil, yang hidup di Malatya (Meletene) kemudian melakukan migrasi ke Bukhara.
Dari Guzdawan, Khawaja Abdul Kholiq al-Ghuzdawani pergi ke Bukhara untuk belajar al-Qur'an dan tafsir kepada Syeh Shadrudin. Apakah Syeh Shadrudin ini Shadrudin Ibrahim Hamuya (w. 1252) dari Kubrawi atau Shadrudin Arif (w. 1286 M.) dari Suhrawardiyah, tidak dijelaskan. Tatkala sedang belajar, dan Syeh Shadrudin menjelaskan ayat Al-Qur'an pada QS. Al-A'raf [7]: 55, ud`u Rabbakum tadharru `an wa khufyatan innahu la yuhibbul mu'tadin, Khawaja Abdul Kholiq al-Ghuzdawani bertanya kepada gurunya tentang hakikat dzikir khafi dan cara-caranya. Menurutnya, kalau seorang hamba sedang berdzikir jahr dan menggerakkan anggota badan, cara seperti akan terlihat manusia; dan apabila berdzikir khafi, syetan akan selalu muncul, sebagaimana dikatakan Rasulullah: "innasy Syaithan la yajri min bani Adam majrad dam fil `uruq." Akan tetapi cerita ini tidak dilanjutkan jawaban dari Syeh Shadrudin.
Ketika menjalani ta'lim dan menekuni ilmu-ilmu syariah, oleh beberapa biografi yang menjelaskannya di atas, dia disebut menjalani riyadah secara kuat dan melalukan mujahadah dengan giat sampai mencapai maqam yang mulia. Pertemuan Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani dengan Khawaja Yusuf al-Hamdani, terjadi ketika beliau datang ke Bukhara. Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani mengambil manfaat tarekat sebagai sesuatu yang berharga melalui Khawaja Yusuf al-Hamdani, dari apa yang selama ini dikaji melalaui ilmu-ilmu syariat.
Khawaja Yusuf al-Hamdani kemudian menerima al-Ghuzdawani untuk masuk jalan tarekatnya, yang di kemudian hari dikenal dengan Naqsyabandiyah. N Hanif (BESCA, 2002: 181) menyebut per temuan al- Ghuzdawani dengan Khawaja Yusuf al-Hamdani terjadi pada umur 22 tahun. Tarekat al-Ghuzdawani yang diperoleh dari Khawaja Yusuf al-Hamdani mendasarkan pada nilai-nilai ash-shidqu, al-wafa, dan mengikuti sunnah Rasul al-Musthafa. Al- Ghuzdawani kemudian pergi ke negeri Syam, dan membangun zawiyah dan mendidik orang yang banyak.
Al-Ghuzdawani kemudian dikenal sebagai Khawaja yang meletakkan dzikir Khatam Khawajigan ke dalam tarekat nya dan diwariskan kepada murid-muridnya sampai sekarang ini di dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah. Di dalam pengamalannya, d zikir Khatam Khawajigan ini menjadi dzikir yang penting, selain dzikir pokok tarekat. Dalam tarekat Naqsyabandiyah, penjelasan dzikir ini di antaranya disebutkan leh Syeh Amin al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub. Selain melal ui tarekat Naqsyabandiyah, Dzikir Khatam Khawajagan juga dimiliki oleh tradisi tarekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah. Di dalam kitab Syeh Haqqi Nazili yang berjudul Khozinatul Asror, juga disebutkan riwayat dan keutamaan dzikir Khatam Khawajagan ini.
Selain itu, Al-Ghuzdawani juga dipercayai sebagai Khawaja yang meletakkan konsep-konsep dalam 8 asas tarekat Naqsyabandiyah, dengan menggunakan bahasa Persia. Athar Abbas Rizvi mengutip kitab Rashhat Ainu'l Hayat , menyebutkan 8 asas ini: host dar dam, nazar bar qadam, safar dar watan, khalwat dar anjuman, yad-kard, baz-gasht, nigah-dasht, dan yad dasht (Athar, hlm. 95), dan Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah juga mengutipnya. Al-Ghuzdawani juga dikenal meninggalkan beberapa wasiat yang kemudian diberi syarah oleh Abul Khair Fadhlu bin Ruzbihan, yang dikenal dengan nama Khawaja Maulana al-Ashbihani.
Pada masa Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani, tarekat Sayyiduna Abu Bakar berkembang cukup luas, karena beliau selain di Bukhara, juga disebutkan oleh beberapa biografinya, telah membangun zawiyah di Syam. Beliau wafat pada tahun 575 H. (1179 M.). Tarekat Khawaja Abdul Khaliq Al-Ghuzdawani kemudian diteruskan banyak muridnya, tetapi yang terkenal dalam silsilah Naqsyabandiyah, adalah Khawaja Arif ar-Rigwari (w. 657 H./1259 M.); dan beliau juga memiliki karya-karya, yang disebut N Hanif (BESCA, 2002: 181) dalam bahasa Persia berjudul Risala-i tarikat, Wasiyyat-nama atau Wasaya, Risala-i Sahibiyya, dan A Dhikr-i Khwadja 'Abd al-Khalik . (Nur Kholik Ridwan)
Komentar
Posting Komentar