Shalat Jum'at dan Jama'ah pakai "ZOOM" di Masa Covid


KH. Imam Nakhoi

Dulu kala muncul perdebatan "sah kah akad nikah di mana antara suami dan istri berada ditempat yang jauh/berbeda", misalnya calon suami sedang berada di Saudi Arabia sedang istri (wali istri) berada di Indonesia. 

Perdebatan pun kala itu terjadi, sebagian mengatakan tidak sah. Sebab wali dari pihak istri dan suami tidak saling melihat, tidak saling mendengar langsung, sehinga berpotensi melahirkan spekulasi (gharar). Di sisi lain, biasanya ada syarat lain yaitu bahwa antara ijab dan qabul haruslan nyambung tidak terpisah. 

Namun belakangan, hampir semua ulama Indonesia sepakat bahwa jarak tidak menjadi penghalang keabsahan perkawinan, yg penting telah terpenuhi rukun rukun nikah dan syartnya, maka sah. 

Mereka beralasan bahwa "ketersambungan antara Ijab dan Qabul tidak harus bersifat formal (suuratan) misalnya suami meng "Qabul langsung" setelah wali atau penghulu mengucapkan "ahkahtuka wa zawwajtuka... ". Bahkan kadang disertai salaman antara suami dan wali, dan harus digerakkan ketika menjawab. 
Ketersambungan antara "ijab dan qabul" bisa secara subsatntif (maknawiyan). Ketika wali mengatakan ijab di hadapan hp di satu daerah dan suami meng "qabul" langsung di hp di tempt yg jauh disana, maka hakikatnya secara substantif telah terjadi ketersambungan antara ijab dan qabul. Inilah yg disebut ketersambungan maknawi. 

Nah kalau argumen ini di bawah dalam konteks "Jama'ah atau Jum'atan", bisakah? 

Memang, Salah satu syarat utama keabsahan jama'ah (jum'at) adalah terjadinya ijtima'(pertemuan/perjumpaan/berkumpul) dalam satu tempat. Pentayaannya, bisakah ijtima' itu tidak harus "Shuratan-fisik-formal" di satu masjid atau mushallah? Melainkan bisa juga ijtima' secara maknan (substantif).

Saya menyakini pasti terjadi perbedaan pendapat sebagaimana dalam masalah perkawinan. Sebagian orang akan berpendapat bahwa antara ibadah (shalat) dan mu'amalah (munakahah) dua hal yg berbeda secara prinsip. Jika dalam ibadah harus mengikuti apa ada nya seperti yg dinyatakan dalil, sedang dalam mu'amalah relatif lebih lentur. 

Tapi mungkin ada yg menjawab, dalam ibadah juga tidak semuanya masuk dalam kategori "ushul ibadah-pokok pokok ibadah), tetapi ada juga yang masuk dalam kategori "furu' ibadah-cabang cabang ibadah". Nah syarat "ijtima'" itu masuk dalam kategori furu', sehingga membuka ruang ijtihad. Misalnya, "ijtma" dalam jama'ah tidak harus "shuratan" tapi bisa juga secara "maknan", misalnya dengan menggunakan aplikasi "zoom", dll. 
Bisakah? Saya memilih yg kedua. Sekalaipun dalam kondisi normal pilihan kedua tetap lebih afdhal. 
 Wallahu a'lam

Situbondo 27 09 20

Baca Juga

Komentar