Hasanuddin Abdurahman
Di masyarakat kita, orang didorong untuk menikah. Kalau tidak menikah, dianggap macam orang cacat. Orang tua merasa malu kalau anaknya tak menikah, khususnya anak perempuan.
Untuk apa menikah? Agar kamu bahagia. Saat di pelaminan adalah saat bahagia. Orang tersenyum, berfoto, dan memamerkannya. Ia dilantik menjadi orang bahagia.
Tapi apakah pernikahan selalu membuat orang bahagia? Tidak. Pernikahan sering menjadi 2 titik ekstrim: surga dunia dan neraka dunia. Ada orang yang sangat bahagia, ada pula yang sangat menderita.
Yang sudah pasti, tidak ada pernikahan yang 100% indah. Pasti ada konflik, pasti ada yang menyakitkan. Ada yang sanggup melampauinya, dan hidup bahagia. Ada yang berpura-pura bahagia. Ada yang menganggapnya misteri, apakah ini yang dinamakan pernikahan bahagia? Ada yang menderita sepanjang sisa hidupnya, tapi terus mempertahankan pernikahannya.
Demikian pula hanya dengan urusan punya anak. Anak adalah sumber kebahagiaan. Yang belum punya anak akan mati-matian berupaya supaya dapat anak. Oleh orang disekitar, mereka akan diinterogasi, kapan akan punya anak.
Tapi apakah semua orang bahagia setelah punya anak? Banyak yang bahagia, tapi tidak sedikit yang depresi. Saat anak masih bayi, tengah malam mesti bangun untuk menyusui atau mengganti popok. Waktu banyak tersita untuk keperluan anak.
Kelak, ketika anak makin besar, makin besar pula masalahnya. Anak tak tumbuh sesuai harapan. Pandai pula ia melawan pada orang tua. Anak-anak membuat orang tua depresi. Mereka juga depresi.
Sukses bisa membuat orang bahagia. Mendaki jenjang karir, hingga ke puncak jabatan. Dikenal dan dihormati banyak orang. Tapi, ada banyak orang tetap tak bahagia dengan apa yang sudah dicapainya. Ia mencari hal-hal lain untuk membuat dirinya tampak lebih hebat.
Harta katanya membuat bahagia. Kalau ada harta, kebutuhan terpenuhi, orang akan bahagia. Tapi ada begitu banyak orang kaya yang tidak bahagia. Ia menambah harta, tapi kebahagiaannya tak kunjung meningkat.
Berada di dekat Tuhan bisa membahagiakan. Maka orang pergi ke rumah-rumah ibadah, tenggelam dalam doa dan zikir. Ada yang bahagia dengan itu, ada yang tidak. Banyak orang yang menjadi gampang marah, bahkan buas terhadap lingkungan sekitarnya.
Jadi di mana letaknya kebahagiaan itu? Pertanyaan itulah masalahnya. Kita mengira kebahagiaan itu ada di suatu tempat, dan kita harus melalui suatu jalan untuk mencapainya. Padahal tidak. Kebahagiaan itu adalah kita. Kita tak perlu melakukan apa-apa, atau pergi ke mana-mana untuk bahagia. Kita cukup merasa bahagia.
Tapi, bukankah orang-orang merasa bahagia dengan pernikahan, punya anak, sukses, kaya, atau dekat dengan Tuhan? Sebenarnya sama saja. Ia sebenarnya cuma merasa bahagia. Ia sendiri menetapkan jalan menuju kebahagiaan, dan ketika tiba di sana ia merasa bahagia. Ada pula yang tetap merasa tidak bahagia, meski sudah tiba di sana.
Jadi, kuncinya bukan jalan yang kita tempuh, atau sampai dan tidaknya kita di sana. Kuncinya adalah, kita merasa bahagia atau tidak.
Ada orang yang memilih untuk bahagia dengan tidak menikah, atau tidak punya anak. Ada yang memilih untuk tidak berkarir atau tidak kaya. Ada yang memilih untuk tidak bertuhan. Mereka bisa bahagia.
Bahagia itu soal hormon-hormon yang membuat kita nyaman, seperti dopamine, oxytosin, endorphins, serotanin, dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan gerak dan pikir kita memicu terbentuknya hormon-hormon itu. Ketika ia mengalir dalam darah, kita merasa nyaman. Kita bisa melatih pikiran, dan mengendalikan produksi hormon-hormon itu.
Kuncinya ada pada pikiran. Kita bisa bahagia hanya dengan melihat matahari terbit. Atau cukup pejamkan mata, nikmati kesunyian. Jalan untuk bahagia bisa apa saja. Artinya, sebenarnya jalan itu tidak diperlukan. Cukup kita pilih keadaan batin kita, untuk masuk pada keadaan bahagia.
Masalahnya, kita sering kali tak sanggup mengendalikan pikiran kita sendiri. Pikiran kita dikendalikan oleh orang lain, atau dikendalikan oleh iklim di sekitar kita. Kita serahkan remo control hidup kita kepada pihak lain. Kita sibuk mencari-cari tombol bahagia dalam hidup kita, tak kunjung ketemu. Padahal tombol itu ada di tangan kita, dan kita tidak menekannya. Kita berharap orang lain menekannya. Kita berharap cuaca menekannya. Atau Tuhan yang menekannya.
Ada sebuah anekdot tentang orang kaya yang berlibur ke pulau kecil yang indah. Ia menemukan seorang penghuni pulau yang duduk santai di pantai, tidak bekerja. Ia miskin. Si kaya menyuruhnya bekerja. Untuk apa? Agar kamu kaya. Lantas, kalau sudah kaya kenapa? Kamu bisa berlibur dan santai. Lha, ini saya sudah santai.
Si kaya melewati jalan berliku dan rumit untuk bahagia. Si miskin sudah sejak awal bahagia.
Ingat, tidak ada jalan yang membawamu kepada kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kamu. Tinggal kamu mau menjadi bahagia atau tidak.
Komentar
Posting Komentar