Hukum Islam (Fiqih): Antara Seks dan Gender


KH. Imam Nakhoi

Secara sederhana, "Seks" berarti Jenis kelamin, yaitu perbedaan jenis kelamin yang didasarkan pada aspek biologis yang dibawa atau diberikan sejak lahir, tidak dapat diubah, bersifat universal dan sama dari masa kemasa. Seperti jenis kelamin laki laki, jenis kelamin perempuan atau jenis kelamin lainnya. Contoh setiap prang yang memiliki penis, sperma dan jakun adalah laki laki, dan setiap orang yang memiliki vagina, payudara, sel telur, rahim, dan alat reproduksi lainnya adalah perempuan, serta setiap orang yg tidak memiliki ciri ciri biologis laki laki atau perempuan atau memiliki keduanya, maka disebut jenis kelamin ke tiga, yg dalam fiqih disebut huntsa. 

Sedang "gender" berarti jenis kelamin sosial, yaitu sifat, peran, karakter, cita cita, ide, yang dilekatkan pada laki laki maupun perempuan yg dikontruksi secara sosial maupun kultural. Olehnya ia bisa dipertukarkan, bisa berubah, tidak universal dan berbeda dari waktu kewaktu. 

Semua peran, karakteristik, harapan, ide ide yang dapat dipertukarkan antara laki laki dan perempuan, dapat berubah dari waktu kewaktu, berbeda disatu tempat dengan tempat lainnya, berbeda dari satu orang dan orang lainnya, disebut dengan "Gender". Peran memasak, mencuci, menyapu menyetrika, menjahit dan sejenisnya adalah peran gender, sebagaimana karakter feminim, maskulin, kuat, lemah, pandai, bodoh, peminpin, dipimpim, cerdas, dan peran sosial lainnya adalah peran peran dan harapan gender. 

Itulah kira kira konsep sederhana seks dan gender. Lalu apa hubungannya dengan Fiqih/Hukum Islam? 

Nah, jika kita melihat beberapa hukum islam/fiqih, maka bisa kita lihat bahwa ada hukum hukum yg dikaitkan dengan seks dan ada yg diakitkan dengan gender. 

Hukum islam yg dikaitkan dengan seks tentu ia bersifat universal dan tidak bisa berubah dan dipertukarkan antara laki laki dan perempuan. Seperti hukum islam tentang perempuan yang haid, hamil menyusui, melahirkan, nifas, dll. 

Sementara hukum islam yg dikaitkan dengan Gender, maka ia bersifat relatif, temporal, dan bisa berubah dari waktu kewaktu dan dari orang keorang lainnya. 

Pertayaannya, apakah hukum tentang Qiwamah (kepemimpinan), Wilayah (perwalian), syahadah (kesaksian) Qadha'(peradilan) dan lain lain, dikaitkan dengan seks (jenis kalamin biologis), ataukah diakitkan dengan gender? 

Nah jika jawabannya yg pertama, maka hukum hukum itu tidak bisa berubah. Dan jika jawabannya yang kedua, maka hukum hukum tentang itu semua bisa berubah walaupun tidak harus diubah saat ini. 

Saya sendiri, memilih jawaban yang kedua. La kan jadi kacau fiqihnya?. Fiqih menjadi kacau jika berada ditangan orang yg tidak faham fiqih, atau faham fiqih tapi tidak jujur dan tidak bertanggungjawab. 

Wallahu A'lam

Selamat Hari Santri, Santri sehat santri kuat. 
Sehat bukan hanya fisik, tapi juga psikis, sosial, dan bahkan sehat secara ekonomi. 

Situbondo 22 10 20

Baca Juga

Komentar