PERINGATAN MAULID NABI; SUDUT PANDANG KAIDAH FIKIH, USHUL FIKIH, DAN FIKIH

Ust. Juman Rofarif

Dawuh Kanjeng Nabi, 

ما أحل الله فهو حلال وما حرم الله فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئا

"Apa yang dihalakan oleh Allah maka halal. Apa yang diharamkan oleh Allah maka haram. Apa yang didiamkan oleh Allah, itu adalah ampunan (afwun). Terimalah pengampunan Allah. Sebab, Allah benar-benar tidak lupa sama sekali (Hadis hasan, riwayat al-Bazzar dan al-Thabrani).

Dalam redaksi riwayat lain:

وسكت عن كثير من غير نسيان فلا تتكلفوها رحمة لكم فاقبلوها

"Allah diam, tidak menentukan hukum banyak hal, bukan karena lupa; karena itu, kalian jangan memaksa. Itu rahmat untuk kalian. Terimalah rahmat Allah."

Maksudnya, saat Allah "diam", tidak menyebutkan hukum suatu hal, itu bukan berarti Allah lupa tidak menyebutkannnya, tapi sengaja tidak menyebutkan. Membiarkan. Dan apa yang sudah Allah biarkan maka hukumnya "afwun". Tak mengapa dilakukan. Tak memiliki konskuensi apa-apa, baik pahala maupun dosa. (Wallahu 'alam wa rasuluhu wa 'ulamauhu bishawab)

Riwayat di atas adalah dalil dari sebuah qaidah fiqhiyyah (kaidah fikih) dalam Mazhab Syafii:

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم

"Hukum dasar sesuatu adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang menyatakan ia terlarang (haram)."

Ini berkebalikan dengan pendapat Imam Abu Hanifah:

الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل الدليل على الإباحة

"Hukum dasar sesuatu adalah terlarang (haram) sampai ada dalil yang menyatakan ia boleh (mubah).

(Sumber: "al-Asybab wa al-Nadzair", Imam Suyuthi).

Itu sikap orang-orang Salafi-Wahabi yang tak jarang mengatakan ini-itu bid'ah, tidak ada dalilnya, karena itu mesti ditinggalkan. Entah sadar atau tidak, sikap mereka itu memiliki "sanad" ke Imam Abu Hanifah. Dalam hal ini, mereka "bermazhab" Hanafi. (Jangan salah paham. Yang "bersanad" ke Imam Abu Hanifah bukan sikap senang membid'ahkan, melainkan sikap bahwa harus ada dalil sebelum melakukan amalan).

Dan, dalam ushul fikih, kaidah Mazhab Syafii di atas merupakan buah dari salah satu sumber hukum Islam, yaitu yang disebut dengan "Ishtishab".

Gampangnya, "Ishtishab" adalah ... jika, misal, Anda seorang mujtahid ditanya apa hukum suatu X, lalu, setelah Anda menelaah Alquran dan hadis, Anda tidak menemukan dalil yang menyebutkan hukumnya, maka X tersebut Anda hukumi mubah atau boleh (boleh dilakukan, jika perbuatan; boleh dikonsumsi, jika makanan).

Sampai, suatu saat, setelah kembali melakukan telaah, Anda menemukan dalil yang menyatakan bahwa X itu ternyata jelas hukumnya: boleh/tidak boleh, wajib/haram, atau lainnya. Maka, X dilabeli dengan hukum yang Anda temukan itu.

Istishab menempati urutan kedelapan dalam tingkatan sumber hukum Islam. Satu, Alquran. Dua, sunah. Kedelapan, ishtishab. Kesembilan, masih ada. Kesepuluh, juga masih ada.

Iya. Sumber hukum atau dalil dalam Islam bukan hanya Alquran dan hadis.

(Sumber: "Ilmu Ushul Fiqh", Abdul Wahab Khalaf).

Gampangnya, pada dasarnya, segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang melarang.

Begitu teorinya.

Yang terpenting, Anda paham teorinya. Jika sudah paham, perkara jadi mudah.

Pepatah berima "ah" mengatakan, "Dengan agama, hidup jadi penuh berkah. Dengan seni, hidup jadi indah. Dengan ilmu, hidup jadi mudah. Denganmu, hidup senang maupun susah." 🤵👰

Oke. Kita praktikkan teori itu dalam perkara peringatan Maulid Nabi.

Apakah Allah (dan Rasulullah) menyebutkan dalil yang menghalalkan peringatan Maulid Nabi? Atau, adakah dalil yang memperbolehkan/memerintahkan peringatan Maulid Nabi?

Tidak ada.

Apakah Allah (dan Rasulullah) menyebutkan dalil yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi? Atau, adakah dalil yang melarang peringatan Maulid Nabi?

Tidak ada.

Jadi, karena tidak ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan peringatan Maulid Nabi, juga tidak ada dalil yang melarangnya, peringatan Maulid Nabi ini termasuk dalam "ma sakata 'anhu", sesuatu yang Allah diamkan, yang tidak disebutkan hukukmnya. Karena itu, peringatan Maulid Nabi adalah "afwun", tidak apa-apa dilakukan, boleh-boleh saja dilalukan.

Dan, dalam ushul fikih, sesuatu yang "afwun", tidak apa-apa dilakukan, boleh-boleh saja dilakukan, disebut "mubah". 

Dalam definisi ushul fikih, "mubah" adalah "sesuatu yang boleh dilakukan, boleh juga ditinggalkan", "agama tidak memerintahkan, juga tidak melarang".

Dalam pengertian yang umum, mubah adalah sesuatu yang jika dilakukan tidak berpahala, jika ditinggalkan tidak berdosa.

Jadi, kesimpulannya, hukum peringatan Maulid Nabi adalah mubah: tidak diperintahkan, juga tidak dilarang; tidak berpahala jika dilakukan, tidak berdosa jika diabaikan.

Oke, saya paham Anda memikirkan sesuatu dalam paragraf sebelum ini. Iya, kan?

Begini, mubah adalah hukum dasar: pada dasarnya, peringatan Maulid Nabi tidak berpahala, juga tidak berdosa.

Yang mendatangkan pahala atau menyebabkan dosa bukan peringatan Maulid Nabi itu sendiri, melainkan konten acaranya.

Dan Anda tahu sendiri: umumnya, peringatan Maulid Nabi diisi dengan konten yang mendatangkan b̶a̶n̶y̶a̶k̶ ̶i̶k̶l̶a̶n̶ ̶a̶d̶s̶e̶n̶s̶e̶ pahala: banyak zikir, kalimat thayibah, dan kebaikan lain di sana.

Sesuatu yang jika dikerjakan mendatangkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa, Anda tahu, itu disebut apa. Sun? Sun? Sunah. Mandub.

Maka, peringatan Maulid Nabi, yang pada dasarnya mubah, berubah menjadi sunah jika diisi dengan hal-hal positif. Ya, memang begitu umumnya.

***

Kesimpulan

👉 Jika Anda bertanya "apa hukum" peringatan Maulid Nabi, Anda sedang bertanya soal fikih. Jawaban pertanyaan itu: peringatan Maulid Nabi hukumnya mubah. Berubah menjadi sunah oleh hal lain (konten peringatan Maulid Nabi)

👉 Jika Anda bertanya "mana dalilnya", Anda sedang bertanya soal ushul fikih sekaligus kaidah fikih. Jawaban pertanyaan itu: dalilnya adalah istishab. Dalam istishab ada sebuah kaidah: Segala sesuatu itu mubah, sampai ada dalil yang menyatakan haram. Atau, selama tidak ada dalil larangan, berarti boleh. Kaidah ini dirumuskan dari hadis di paragraf pertama tulisan ini.

👉 Jadi, jika ada orang mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi itu tidak ada dalilnya, coba Anda perjelas, "Maksud Anda, tidak dalil yang memerintahkan atau tidak ada dalil yang melarang?" Jika tidak ada dalil yang memerintahkan, bukan berarti tidak boleh dilakukan. Jika tidak ada dalil yang melarang, berarti boleh dilakukan.

👉 Jadi, tidak ada dalil adalah dalil.

***

PS:

Teori kaidah fikih dan ushul fikih di atas juga bisa diterapkan untuk semua amalan yang sering mereka katakan tidak ada dalilnya.

Anda tentu ingat dengan twit Felix Siauw: "membela nasionalisme nggak ada dalilnya". Terlepas dia sudah tobat atas twitnya itu atau belum, teori di atas bisa untuk menjawab twit legendaris itu.

Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad.

🔚

Baca Juga

Komentar