Pesan Nabi tentang Beda Ulama dan Penceramah


M. Kholid Syirazi


Kita hidup pada suatu masa di mana standar hidup dalam beberapa hal naik, dalam beberapa hal turun. Yang naik adalah kualitas kehidupan material kita yang canggih, serba digital. Yang turun adalah standar beragama kita. Semua guru di sekolah agama, dari TPQ sampai Madrasah (MI/MTs/MA), kita panggil ustadz. Pun kalau dia itu guru olah raga, kita panggil ustadz juga. Di negara-negara Arab, di perguruan-perguruan tinggi, ustadz bukan sekadar guru, tetapi guru besar atau profesor. Kalau guru biasa, dipanggil mudarris. Di Indonesia, gelar ustadz meluas dan dipakai ke semua penceramah. Modin atau imam mushalla yang mimpin tahlilan juga kita panggil ustadz. Alhasil, makna ustadz tunduk kepada adat. Ustadz dalam adat kita beda dengan makna ustadz di Timur Tengah. Beres. No problemo!

Tapi yang parah, yang saya sebut degradasi, ada gejala yang menyamakan ustadz dengan ulama. Pokoknya asal naik podium, ceramah, diundang TV, kontan masuk jajaran alim-ulama. Kalau ada ijtima' ulama, mereka ikut. Inilah degaradasi yang disinggung Rasulullah. Beliau jelas sekali membedakan antara ulama dan penceramah:

« إنكم في زمان علماؤه كثير، خطباؤه قليل، من ترك فيه عشير ما يعلم هوى أو قال: هلك وسيأتي على الناس زمان يقل علماؤه، ويكثر خطباؤه، من تمسك فيه بعشير ما يعلم نجا » (رواه احمد)

"Kalian (para sahabat) hidup di zaman di mana ulamanya banyak, penceramahnya sedikit. Barang siapa menjalankan sepersepuluh dari apa yang diketahuinya, dia celaka. Tetapi akan datang suatu masa di mana ulamanya sedikit, penceramahnya banyak. Barang siapa berpegang teguh dengan sepersepuluh dari apa yang diketahuinya, dia selamat" (HR. Ahmad). 

Dari gejala-gejalanya, sabda Nabi ini nampaknya relevan dengan situasi kita. Saya tahu dari postingan di grup-grup WA dan media sosial. Seorang penceramah, isi ceramahnya sumpah serapah, ditangkap polisi karena ujaran kebencian. Para pembelanya bilang: ini ulah rezim zalim penindas ulama. Ini kemunduran luar biasa: umat bahkan tidak ngerti beda provokator dan penceramah, tidak paham beda penceramah dan ulama. Dalam situasi di mana loyang disangka emas, kita tidak perlu emas 24 karat. Kalau kita padankan dengan sabda Nabi, emas sepuluh karat sudah selamat. Di zaman Nabi dan sahabat, informasi tentang agama semuanya emas. 

Celakalah orang yang mengambil hanya sepuluh persennya untuk diamalkan. Di zaman kita, informasi tentang agama lebih banyak loyang ketimbang emasnya. Di era di mana agama diajarakan tanpa sanad, melalui kanal-kanal online, kita dapat menyaring sepuluh persen kadar emas dari hamparan loyang saja sudah cukup. Dalam situasi seperti ini, gondelan dengan ulama, bukan sekadar penceramah, adalah kunci sing penting slamet!

Baca Juga

Komentar