Kenapa Kita Bersedih dengan Wafatnya Ulama

M. Kholid Syirazi


Ulama itu penerusnya para Nabi. Mereka meneruskan ajaran Nabi, melalui ilmu dan perbuatan. Nabi maksum, ulama tidak. Tanpa ulama, kita tidak akan mengenal Nabi dan ajarannya. Ulama adalah sanad kita kepada Nabi. Kita tidak mungkin beragama tanpa ulama. Tanpa ulama, kita tidak mungkin mengenal isi Qur'an dan hadis. Di sinilah tradisi madzhab penting. Madzhab adalah sanad kita mengenal ajaran Nabi. Jargon kembali kepada Qur'an-hadis mustahil tanpa sanad ulama. Bukan hanya tidak tahu isi dan maknanya, bahkan tanpa ulama kita tidak bisa membaca al-Qur'an. Atas kreativitas ulama, yang membuat titik dan harakat huruf Arab—sesuatu yang tidak diajarkan Nabi—kita bisa membaca al-Qur'an, meski tidak tahu maknanya.

Kita patut bersedih sedih dengan wafatnya ulama karena berarti kita kehilangan salah satu mata rantai kita kepada Nabi. Nabi bersabda:

« إن الله لا يقبض العلم انتزاعًا ينتزعه من العباد، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يُبْقِ عالمًا اتَّخذ الناس رؤوسًا جهالاً، فسُئِلوا فأفتوا بغير علم؛ فضلوا وأضلوا» متفق عليه

"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-Nya sekaligus. Tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak lagi tersisa ulama, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Ketika mereka ditanya, orang-orang itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan" (HR Bukhari-Muslim).

Maka ketika ulama wafat, kita bersedih karena Allah sedang mencabut sedikit demi sedikit ajaran Nabi yang disiarkan oleh mereka. Dengan wafatnya ulama, kita semakin kehilangan pedoman untuk mengenali mana emas mana loyang, mana tuntunan mana tontonan, mana muballigh mana provokator. Semoga Allah jauhkan kita dari kesesatan.

Sugeng tindak Kiai Noer, semoga Allah lapangkan jalan panjenengan menghadap-nya, radhiyatan mardliyah.

Baca Juga

Komentar