Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Ahlussunnah Wal Jama'ah (Asy'ariyah dan Maturidiyah) sepakat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat. Semua kitab Asy'ariyah mulai dari yang tipis hingga yang tebal tak ada satupun yang menafikan kemungkinan Allah dapat dilihat nanti di Akhirat. Isu ini adalah salah satu isu sentral yang menjadi kritik Asy'ariyah atas Muktazilah yang menolak kemungkinan Allah bisa dilihat nanti di akhirat sebab menurut mereka kalau Allah bisa dilihat berarti Allah adalah jisim yang pasti punya massa dan volume. Berlawanan 180 derajat dengan Muktazilah, para Mujassimah justru meyakini bahwa Allah itu bisa dilihat sebab dalam keyakinan mereka Allah memang jisim yang punya punya massa, volume, ruang dan arah. Ahlussunnah Wal Jama'ah berada di antara kedua kelompok ekstrem itu.
Sekarang akidah Muktazilah sudah musnah, jadi isu ini tak lagi menjadi hot topic untuk dibahas. Di antara semua aliran dalam Islam, Muktazilah yang beraliran Jahmiyah itulah yang punya kemampuan rasio yang layak diperhitungkan. Sekarang, yang tersisa hanyalah mereka yang terpengaruh mujassimah saja meskipun tak mau disebut mujassimah. Ajaran mujassimah ini sebenarnya sudah musnah juga hingga beberapa pondasinya dibangun ulang di abad ketujuh oleh seorang ulama yang nyleneh. Berulang kali teman-teman meminta saya membahas topik ini namun baru sekarang saya sempat. Bagi saya, topik ini butuh penjelasan panjang tapi tetap saja tak menarik sebab hanya untuk melawan orang yang biasanya alergi dengan rasio tetapi tiba-tiba berlagak rasional dalam bab ini.
Sebelum membahas lebih lanjut, seperti biasa mari kita membahas hal lain dulu untuk mempermudah. Kita bahas soal bagaimana kita melihat barang-barang di sekitar kita setiap harinya.
1. Normalnya, kita melihat benda-benda atau jisim di sekitar kita dengan cara mengarahkan mata kita ke arah benda itu. Tak cukup mengarahkan mata saja, kita mutlak perlu partikel cahaya yang menabrak benda itu lalu memantulkan bayangannya ke mata kita sehingga mata kita bisa menangkap bentuk benda-benda itu. Jadi, syarat untuk melihat benda adalah: (a) ada bendanya yang menempati ruang tertentu yang bisa kita arahkan mata kita ke ruang itu, (b) ada bola mata yang sehat dan (c) ada partikel cahaya yang bisa menabrak benda itu lalu memantulkannya kembali ke mata kita atau memang bendanya itu sendiri yang mengeluarkan cahaya. Tanpa salah satu dari tiga hal ini, maka tak mungkin terwujud sebuah penglihatan terhadap benda.
2. Hukum fisika yang berlaku di dunia ini memastikan bahwa sesuatu yang tak dapat ditabrak oleh partikel cahaya, maka tak mungkin kita lihat dengan mata. Perasaan cinta misalnya, tak mungkin kita lihat dengan mata.
3. Hukum fisika yang berlaku di dunia ini juga memastikan bahwa apabila partikel cahaya yang menabrak benda itu tak dapat sampai ke bola mata kita sebab ada penghalang berupa benda lain, jarak yang terlalu jauh atau arah yang tak tepat, maka tak mungkin kita melihat benda itu.
Itulah aturan main yang diciptakan Allah agar mata kita bisa melihat benda-benda di sekitar. Aturan main UNTUK MAKHLUK ini biasa disebut dengan hukum alam atau hukum fisika. Nah, sekarang apakah aturan main ini mutlak harus Allah patuhi setiap saat? Ternyata tidak, sama sekali tidak sebab Allah berkuasa membuat aturan main UNTUK MAKHLUK sekehendaknya. Dari riwayat yang sahih, kita tahu bahwa Nabi Muhammad ternyata bisa melihat sesuatu yang ada di belakangnya, sebagai mukjizat. Kita juga dapati Sayyidina Umar mampu melihat pasukan kaum muslimin yang sedang berperang di perbatasan Persia dan bahkan memberikan instruksi kepada mereka meskipun saat itu beliau sedang berdiri di mimbarnya di Madinah, sebagai karamah. Ini jelas di luar aturan main standar itu. Semua bab mukjizat dan karamah berada di luar hukum fisika duniawi tersebut.
Setelah kita mengerti aturan main UNTUK MAKHLUK di dunia di atas, sekarang kita beralih ke aturan main UNTUK MAKHLUK di akhirat. Samakah hukum fisika dunia ini dengan akhirat? Meskipun kita belum pernah ke sana, ternyata bocoran ghaib (berupa ayat dah hadis sahih) dengan gamblang menyatakan bahwa aturan mainnya mutlak berbeda. Di sana tubuh kita sudah kekal tak bisa mati, kulit kita yang terbakar api neraka akan kembali utuh untuk menikmati pembakaran selanjutnya, sel-sel tubuh tak lagi menua dan banyak lagi perubahan lain dalam tubuh kita. Alam di surga sana juga berbeda mutlak dengan alam yang kita kenal sekarang; semuanya buah akan tumbuh dengan sekejap begitu kita mau, semuanya seolah didesain untuk memanjakan semua kehendak kita. Semua penungguan, takut gagal, usaha keras dan aturan teknis yang merepotkan ketika di dunia sudah tak ada lagi. Jadi, aturan main atau hukum fisika dunia tak lagi bisa pakai di sana kecuali bagian yang Allah kehendaki.
Sekarang kita beralih pada topik utama, bagaimana kita melihat Allah di akhirat nanti?
Sebelum menjawabnya, perlu diingat poin utama bahasan di atas dulu, yakni: ATURAN MAIN DALAM HUKUM ALAM DI DUNIA JANGAN DIBERLAKUKAN DI AKHIRAT.
1. Bila biasanya di dunia kita harus menghadap ke arah objek untuk bisa melihatnya, maka di akhirat aturan ini bisa ditiadakan. Bahkan di dunia pun hal ini tak harus terjadi dalam konteks mukjizat dan karamah.
2. Bila biasanya di dunia kita hanya dapat melihat sesuatu yang bisa ditabrak oleh partikel cahaya, maka di akhirat aturan ini bisa ditiadakan. Kalau mengharuskan hukum ini di akhirat, sama saja kita harus mengharuskan dzat Allah ditabrak partikel cahaya dulu agar mata kita mampu melihatnya. Ini keyakinan para mujassimah yang sesat dan sama sekali tak ada dalilnya. Kalau ada yang memaksakan diri mengatakan ini, maka ia sudah menetapkan apa yang tak ditetapkan oleh Allah atas dirinya sehingga keluarlah dia dari barisan Ahlussunnah.
3. Bila biasanya di dunia kita hanya dapat melihat sesuatu yang berada dalam ruang tertentu dan perlu jarak tertentu, perlu tak ada pemisah antara yang dilihat dan yang melihat, maka di akhirat aturan ini juga bisa ditiadakan seperti aturan hukum fisika lainnya yang tak berlaku di akhirat.
4. Bila di dunia mata kita hanya bisa melihat hal yang bersifat material, maka di akhirat aturan ini juga bisa ditiadakan dengan kehendak Allah.
Peniadaan aturan main fisika duniawi inilah yang menjadi pembeda antara Ahlussunnah dan Ahlul bid'ah. Imam al-Qurthubi sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:
فتح الباري لابن حجر (13/ 426)
وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ اشْتَرَطَ النُّفَاةُ فِي الرُّؤْيَةِ شُرُوطًا عَقْلِيَّةً كَالْبِنْيَةِ الْمَخْصُوصَةِ وَالْمُقَابَلَةِ وَاتِّصَالِ الْأَشِعَّةِ وَزَوَالِ الْمَوَانِعِ كَالْبُعْدِ وَالْحَجْبِ فِي خَبْطٍ لَهُمْ وَتَحَكُّمٍ وَأَهْلُ السُّنَّةِ لَا يَشْتَرِطُونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ سِوَى وُجُودِ الْمَرْئِيِّ وَأَنَّ الرُّؤْيَةَ إِدْرَاكٌ يَخْلُقُهُ اللَّهُ تَعَالَى لِلرَّائِي فَيَرَى الْمَرْئِيَّ
"al-Qurthubi berkata: "Para pengingkar rukyah menyaratkan beberapa syarat rasional, seperti adanya tempat yang khusus, berhadapan/berarah, tersambungnya cahaya dan tiadanya penghalang seperti jarak yang jauh atau tabir. [Persyaratan ini] kacau dan klaim belaka. Sedangkan Ahlussunnah TAK MENYARATKAN SATU PUN kecuali adanya sesuatu yang dilihat. Dan, sesungguhnya rukyah (melihat Allah) itu adalah suatu pengetahuan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia yang melihat sehingga ia bisa melihat".
Bila peniadaan aturan main fisika duniawi di atas tak disetujui, misalnya karena percaya terhadap klaim Ibnu Taymiyah yang berkata:
ان كون الرؤية مستلزمة لان يكون الله بجهة من الرائى امر ثبت بالنصوص المتواترة (بيان تلبيس الجهمية 2/409)
"Bahwa keberadaan rukyat mengharuskan keberadaan Allah di suatu arah dari yang melihat adalah sesuatu yang ditetapkan dengan nash-nash yang mutawatir".
Maka silakan siapapun yang biasanya mempercayai mentah-mentah klaim-klaim Syaikh Ibnu Taymiyah itu untuk membuktikan klaimnya dengan mendatangkan nash (al-Qur'an dan hadis) yang berisi WAJIBNYA PEMBERLAKUAN ARAH ketika melihat Allah di akhirat nanti! Namun saya ragu ada yang mampu melakukannya sedangkan pembuktian dari jalur observasi juga mustahil kita lakukan sekarang.
Seorang pembela fanatik Ibnu Taymiyah dari abad ke delapan Hijriah berkata:
ومن قال: يُرى لا في جهةٍ فليراجِعْ عقلَه!! فإمَّا أن يكون مكابِرًا لعقله أو في عقله شيءٌ، وإلاّ فإذا قال: يُرى لا أمامَ الرائي ولا خلفَه ولا عن يمينه ولا عن يساره، ولا فوقه ولا تحته رَدَّ عليه كلُّ من سمعه بفطرته السليمة
"Siapa yang berkata bahwa Allah dilihat tanpa arah, maka tinjau lagi akalnya!!. Ada kalanya dia menyombongkan akalnya atau ada yang tak beres dari akalnya. Kalau tidak, maka kalau dia berkata "Allah dilihat tidak di depan, di belakang, di kanan, di kiri, di atas, di bawah, maka ditolaklah atasnya semua yang ia dengar dengan fitrah sehatnya".
Itulah argumen paling maksimal yang mampu mereka kemukakan tentang penetapan mekanisme fisika duniawi itu. Mereka mengharuskan pemberlakuan hukum fisika duniawi pada Allah yang Maha Kuasa di akhirat sana di mana hukum-hukum fisika dunia tak berlaku lagi. Itu pun tanpa menyampaikan dalil yang layak diperhitungkan, melainkan hanya olok-olok tanpa bobot.
Bila hakikat rukyat di akhirat ini sudah dipahami bahwa sebenarnya ini semua tentang KEKUASAAN ALLAH memberikan pengetahuan tentang eksistensi-Nya kepada hamba-Nya yang melihat, maka jawaban pertanyaan di atas bisa dimulai dengan menukil sebuah hadis yang berbicara mengenai hal ini, yakni:
صحيح مسلم (1/ 163)
أَنَّ نَاسًا قَالُوا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ [ص:164]، هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ؟» قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي الشَّمْسِ لَيْسَ دُونَهَا سَحَابٌ؟» قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: " فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ، كَذَلِكَ يَجْمَعُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Sesungguhnya orang-orang bertanya kepada Rasulullah: "wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat?". Rasulullah berkata: "Apa kalian kesulitan melihat rembulan di saat purnama?". Mereka menjawab: "Tidak Rasulullah". Rasul berkata: "Apakah kalian kesulitan melihat matahari saat tak terhalang awan?". Mereka menjawab: "Tidak Rasulullah". Rasul berkata: "Sesungguhnya kalian akan melihatnya. Seperti itulah Allah mengumpulkan manusia di hari kiamat".
صحيح البخاري (9/ 127)
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ
"Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian seperti halnya kalian melihat bulan ini (bulan purnama). Kalian tak perlu berdesakan melihat-Nya".
صحيح البخاري (9/ 127)
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
"Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian dengan mata telanjang".
Dari ketiga hadis sahih itu kita bisa menyimpulkan tiga hal berikut:
1. Allah dapat dilihat di akhirat
2. Manusia melihat Allah dengan mata kepala secara langsung
3. Allah terlihat jelas sekali seperti jelasnya kita saat melihat bulan purnama atau melihat matahari saat tak ada awan. Dari konteks utuh hadis itu, kita bisa tahu bahwa penyerupaan penglihatan di atas adalah penyerupaan kejelasannya, sama sekali bukan penyerupaan antara Allah dan matahari atau rembulan. Andai penyerupaan yang dimaksud adalah penyerupaan Antara Dzat Allah dengan dzat matahari atau bulan, maka tentu tak perlu tambahan "ketika purnama" atau "ketika tak ada awan".
Hampir semua ulama yang menukil hadis ru'yah menjelaskan bahwa hadis itu berarti تَشْبِيه الرُّؤْيَة بِالرُّؤْيَةِ فِي الوضوح menyamakan antara kejelasan penglihatan antara keduanya, bukan antara kedua objek yang dilihat (Allah dan Matahari/Bulan). Hanya dua orang yang gagal paham dalam poin ini, yaitu: orang yang tak paham kaidah berbahasa yang baik dan benar serta orang yang kegemarannya memelintir konteks ucapan Nabi sesuai hawa nafsunya. (lihat lagi tulisan saya berjudul Tahrif Konteks untuk memperjelasnya)
Dari hadis-hadis di atas, beserta hadis lainnya dengan seluruh ragam redaksinya, tak ada satu pun yang menyebut berlakunya aturan main fisika duniawi sehingga kita tak bisa menambah-nambahinya seenak hati. Apa yang ditetapkan oleh nash, maka kita tetapkan. Sedangkan apa yang tak ditetapkan, maka tak boleh kita tambahi.
Sekarang kita lihat bagaimana para ulama yang ahli dalam bidang akidah mengomentari hadis-hadis itu sebagaimana berikut:
1. Imam Abu Hanifah, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Mulla Ali al-Qary, menjelaskan:
شرح الفقه الأكبر لملا علي القاري ص/ 136- 137:
والله تعالى يُرى في الآخرة، ويراه المؤمنون وهم في الجنة بأعين رؤوسهم بلا تشبيه ولا كميّة، ولا يكون بينه وبين خلقه مسافة. اهـ.
Allah Ta'ala dapat dilihat di akhirat. Orang mukmin melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka DENGAN TANPA PENYERUPAAN ATAU UKURAN TERTENTU. DAN TAK PERLU ADA JARAK ANTARA ALLAH DAN MAKHLUKNYA.
Imam Abu Hanifah juga menjelaskan di kitab al-Washiyah:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق.
"Perjumpaan Allah dengan penduduk surga itu TANPA MEKANISME TERTENTU, TANPA PENYERUPAAN DAN TANPA ARAH adalah benar".
2. Imam at-Thahawi menjelaskan dalam akidah at-Thahawiyahnya:
والرؤيةُ حق لأهلِ الجنة، بغيرِ إحاطةٍ ولا كيفيَّةٍ، كما نطقَ به كتابُ ربّنا
"Melihat Allah adalah benar terjadi bagi penduduk surga TANPA DILIPUTI BATASAN TERTENTU [dari ujung ke ujung atau sisi ke sisi] DAN TANPA MEKANISME TERTENTU, seperti halnya kitab Tuhan kita membicarakannya"
3. Imam Nawawi, sebagaimana dinukil dalam Fathul Bari, menjelaskan:
مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ رُؤْيَةَ الْمُؤْمِنِينَ رَبَّهُمْ مُمْكِنَةٌ وَنَفَتْهَا الْمُبْتَدِعَةُ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَالْخَوَارِجِ وَهُوَ جَهْلٌ مِنْهُمْ فَقَدْ تَضَافَرَتِ الْأَدِلَّةُ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَسَلَفِ الْأُمَّةِ عَلَى إِثْبَاتِهَا فِي الْآخِرَةِ لِلْمُؤْمِنِينَ وَأَجَابَ الْأَئِمَّةُ عَنِ اعْتِرَاضَاتِ الْمُبْتَدِعَةِ بِأَجْوِبَةٍ مَشْهُورَةٍ وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الرُّؤْيَةِ تَقَابُلُ الْأَشِعَّةِ وَلَا مُقَابَلَةُ الْمَرْئِيِّ وَإِنْ جَرَتِ الْعَادَةُ بِذَلِكَ فِيمَا بَيْنَ الْمَخْلُوقِينَ
"Mazhab Ahlussunnah meyakini bahwasanya melihatnya kaum mukminin kepada Tuhannya adalah memungkinkan. Para ahli bid'ah dari kalangan Muktazilah dan Khawarij menafikan hal ini. Itu adalah kebodohan mereka. Sungguh telah banyak sekali dalil-dalil dari al-Qur'an, Hadis dan kesepakatan para sahabat dan kalangan salaf atas tetapnya hal itu di akhirat bagi kaum mukminin. Para Imam pun sudah menjawab dari sanggahan-sanggahan para ahli bid'ah dengan jawaban-jawaban yang sudah terkenal. Dan, TIDAK DISYARATKAN DALAM PROSES PENGLIHATAN ADANYA PENERIMAAN CAHAYA DAN TIDAK PULA MENGHADAP KE ARAH YANG DILIHAT, meskipun kebiasaannya berlaku demikian di antara sesama makhluk".
4. Imam Abu Jakfar al-Maturidi dalam kitab at-Tauhid menjelaskan:
إن رؤية الله في الآخرة واجبة سمعًا بلا كيف فإن قيل كيف يُرى قيل بلا كيف إذ الكيفية تكون لذي صورة . بل يُرى بلا وصفِ قيامٍ وقعودٍ واتكاءٍ وتعلقٍ واتصالٍ وانفصالٍ ومقابلةٍ ومدابرةٍ وقصيرٍ وطويلٍ ونورٍ وظلمة وساكنٍ متحركٍ وُمماسٍ . ثم قال : ولا معنى يأخذه الوهم أو يقدره العقل لتعاليه عن ذلك
"Sesungguhnya melihat Allah di akhirat itu pasti terjadi berdasar dalil naqli DENGAN TANPA MEKANISME TERTENTU. Apabila ditanya, bagaimana Dia dilihat? Maka dijawab: Tanpa mekanisme tertentu sebab mekanisme itu bagi yang mempunyai bentuk fisik. Tetapi Dia dilihat tanpa sifat berdiri, duduk, berpegangan, bergelantungan, bersambung, berpisah, berhadapan, membelakangi, pendek, panjang, cahaya, kegelapan, diam, bergerak dan menyentuh. Dan tak berdasar makna yang terbayang di benak atau terukur melalui akal sebab Maha Tinggi Allah dari semua itu.
5. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
فتح الباري لابن حجر (13/ 426)
وَاخْتَلَفَ مَنْ أَثْبَتَ الرُّؤْيَةَ فِي مَعْنَاهَا فَقَالَ قَوْمٌ يَحْصُلُ لِلرَّائِي الْعِلْمُ بِاللَّهِ تَعَالَى بِرُؤْيَةِ الْعَيْنِ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَرْئِيَّاتِ وَهُوَ عَلَى وَفْقِ قَوْلِهِ فِي حَدِيثِ الْبَابِ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ إِلَّا أَنَّهُ مُنَزَّهٌ عَنِ الْجِهَةِ وَالْكَيْفِيَّةِ وَذَلِكَ أَمْرٌ زَائِدٌ عَلَى الْعِلْمِ
"Orang yang menetapkan adanya rukyat berbeda pendapat dalam memaknainya. Sebagian orang mengatakan bahwa orang yang melihat berhasil mengetahui tentang Allah dengan penglihatan mata sebagaimana melihat hal-hal selain-Nya. Ini cocok dengan sabda Rasulullah dalam hadis bab ini "Seperti kalian melihat bulan", hanya saja Allah disucikan dari arah dan mekanisme teknis. ARAH DAN MEKANISME TEKNIS ITU ADALAH SATU HAL LAIN DI LUAR PENGETAHUAN ITU SENDIRI".
Ibnu Hajar juga menjelaskan:
فتح البَارِي :
قَولُهُ (تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ) المرادُ تَشْبِيهُ الرُّؤيةِ بِالرُّؤْيَةِ فِي الوُضُوحِ وَزَوَالِ الشَّكِ ورَفْعِ الْمَشَقَّةِ والاختِلافِ وقالَ البيهقيُّ سَمِعْتُ الشيخَ أبَا الطَّيِّبِ الصُعْلُوكيَّ يَقُولُ ''لا تَضامُّونَ'' بِتَشديدِ الميمِ يُريدُ لا تَجْتَمِعُونَ لِرُؤْيَتِهِ فِي جِهَةٍ ولا يَنْضَمُّ بَعْضُكُمْ إلَى بَعْضٍ فَإِنَّهُ –أَيِ اللهَ- لا يُرَى في جِهَة"
"Sabda Nabi "kalian melihatnya demikian juga" maksudnya adalah penyerupaan antara proses melihat [Allah] dengan proses melihat [matahari/bulan] dalam hal kejelasannya dan tidak adanya keragu-raguan, kesulitan dan perbedaan pendapat [apakah benar itu Allah atau bukan]. Imam al-Baihaqi berkata: Aku mendengar Syaikh Abu Thayyib as-Sha'luki berkata: "La tudlammuna" maksudnya kalian tak perlu berkumpul dan berdesakan satu sama lain dalam satu arah untuk melihatnya. Sesungguhnya Allah TAK DILIHAT DALAM SATU ARAH tertentu".
FAQ:
1. Kalau membawa-bawa kekuasaan Allah, maka kenapa tak mengatakan bahwa Allah dilihat dalam arah tertentu sebagaimana lumrahnya manusia melihat hal lain? Bukankah Allah juga mampu melakukannya?
Jawab: Tidak, Allah adalah Tuhan semua makhluk yang maha berbeda dari semua makhluk secara mutlak. Ia maha sempurna hingga Dzatnya tak mungkin bersifat tak sempurna. Allah tak bisa memodifikasi dirinya sendiri sehingga berada dalam ruang dan tempat yang ia ciptakan sendiri, juga tak dapat menjadikan dirinya punya batasan-batasan volume, juga tak dapat membuat dirinya berubah seperti matahari atau seperti bulan yang melayang di atas sana dengan bentuk yang terbatas itu. Allah juga tak dapat membuat dirinya sendiri butuh cahaya agar dilihat. Seperti halnya Allah juga tak bisa mengundurkan diri menjadi Tuhan, tak bisa membuat Tuhan lain selain diri-Nya, tak bisa membuat sesuatu yang tak bisa ia kontrol, tak bisa membuat anak bagi dirinya, tak bisa membuat dirinya butuh tempat atau butuh arah. Intinya, Allah terlalu sempurna untuk bersifat dengan seluruh sifat-sifat kekurangan. Jadi, kemahakuasaan Allah itu terlalu hebat, terlalu besar, terlalu agung sehingga itu membuatnya tak mampu memiliki sifat-sifat kekurangan.
Semua penjelasan tentang cara-cara melihat di atas hanya berlaku bagi makhluk. Mata yang dimodifikasi adalah mata makhluk, penglihatan yang dibahas adalah penglihatan makhluk, aturan hukum fisika yang dibahas adalah hukum fisika yang berlaku bagi makhluk. Sama sekali bukan tentang dzat Allah sebab kita tak tahu apa-apa tentang Dzat Allah kecuali bahwa Dia bersifat sempurna. Ahlussunnah hanya gemar membicarakan sifat kesucian Allah dan hakikat makhluk-makhluknya. Sedangkan ahlul bid'ah suka membahas Dzat Allah dan membatasi Dzat-Nya dalam arah dan ruang.
2. Tak bisakah diartikan bahwa penyerupaan dalam hadis itu sebagai penyerupaan Allah dan rembulan?
Jawab: Sama sekali mustahil sebab jelas antara keduanya tak ada sedikitpun kesamaan. Konteks hadisnya secara lengkap juga tak memungkinkan untuk dipahami demikian. Yang seringkali membuat rancu pembaca adalah ulah orang-orang yang enggan membawakan konteksnya secara utuh.
3. Kenapa dalam hadis itu dipilih Matahari dan Bulan sebagai kiasan bahwa Allah dapat dilihat?
Jawab: Imam al-Hafidz al-Qasthalani menjelaskannya sebagai berikut:
إرشاد الساري:
وخص الشمس والقمر بالذكر مع أن رؤية السماء بغير سحاب أكبر آية وأعظم خلقًا من مجرد الشمس والقمر لما خصّا به من عظيم النور والضياء بحيث صار التشبيه بهما فيمن يوصف بالجمال والكمال سائغًا شائعًا في الاستعمال
"Matahari dan bulan dipilih secara khusus padahal melihat langit tanpa awan justru lebih besar tandanya dan lebih agung penciptaannya dari hanya sekedar matahari dan bulan, sebab keduanya punya kekhususan berupa besarnya cahaya dan penerangan. Sekiranya, penyerupaan dengan keduanya dengan Dzat yang disifati indah dan sempurna adalah boleh dan lumrah".
4. Saya tak percaya kalau ada yang bisa dilihat tanpa arah. Bagimana anda mau membuktikan secara meyakinkan pada saya?
Jawab: Bagaimana anda menjelaskan Nabi Muhammad yang bisa melihat apa yang ada di belakangnya? Juga tentang Umar yang dapat melihat pasukannya dalam jarak lebih dari seribu kilometer? Kesulitan anda memahami ini adalah karena mewajibkan aturan-aturan materi berlaku juga pada Allah meski jelas Allah bukan susunan materi.
5. Saya meyakini bahwa Allah tak bertempat, tetapi saya meyakini bahwa Allah berada dalam arah tertentu. Apa salahnya?
Jawab: Arah adalah perspektif ruang antara dua objek yang terpisah. Ruang sendiri adalah tempat. Mengatakan berarah sama saja mengatakan bertempat. Menafikan arah dari tempat sama halnya dengan menafikan eksistensi dari wujud. Ini kontradiktif dan mustahil benar.
Insya Allah tulisan panjang ini sudah menjawab semua kemusykilan dalam bab ini. Wallahu A'lam.
Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar