Oleh Ustadz Ahmad Sarwat
Syariat adalah segala ketentuan perintah dan larangan dari Allah SWT. Salah satunya syariat tentang haramnya memakan jenis makanan tertentu.
Namun secara teknis, ternyata ada dua macam larangan : Pertama, berdasarkan semata wahyu namun tanpa pertimbangan logika, Kedua adalah larangan berdasarkan wahyu namun pakai logika.
Untuk contoh yang pertama, yaitu berdasarkan wahyu namun tanpa pendekatan logika misalnya keharaman memakan daging sesaji.
Sesaji?
Ya, kalau sesaji itu berupa daging hewan yang disembelihnya diniatkan sebagai persembahan kepada makhluk halus seperti roh, jin, setan, demit, genderuwo dan lainnya.
Dasar laranganya termuat dalam ayat berikut ini :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. (QS. Al-Baqarah : 173)
Secara teknis penyembelihannya mungkin dilakukan dengan memenuhi ketentuan syariah, teknisnya sempurna, higyenis dan memenuhi semua ketentuan penyembelihan syar'i. Namun ketika diniatkan untuk dijadikan sesaji alias persembahan, maka secara ritual membuat status hewan itu jadi haram dimakan.
Itu contoh sederhana tentang keharaman makanan yang bersifat wahyu dan tidak ada hubungannya dengan akal atau logika. Kalau menurut logika, daging itu layak dikonsumsi, sehat dan aman.
Untuk contoh yang kedua adalah ketika kita diharamkan memakan makanan yang membahayakan diri sendiri atau yang beresiko membunuh diri kita. Misalnya minum racun tikus, obat nyamuk, menelan gunting, silet, cutter atau minum arsenik.
Dalilnya sudah kita ketahui bersama, yaitu ayat berikut :
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu. (QS. An-Nahl : 114)
Yang jadi fokus adalah kata thayyiban yang sering diartikan menjadi makanan yang baik. Bukan hanya halal tapi harus baik untuk tubuh kita. Kalau tidak baik maka hukumnya jadi haram.
Namun ayat ini mungkin agak kurang menggigit, karena boleh jadi makan yang halal dan baik itu sekedar anjuran, bukan syarat kebolehan memakan makanan.
Maka ayat yang lebih menggigit ada, meski tidak selalu konteks makanan, yaitu :
Dimana kita dilarang merusak diri kita atau bahkan membunuh diri kita. Dan salah satu cara merusak diri atau bunuh diri di zaman sekarang ini ternyata lewat makanan.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Al-Baqarah : 195)
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
Dan janganlah kamu membunuh dirimu (QS. An-Nisa : 29)
Meksi larangan di dua ayat di atas tidak secara spesifik tentang makanan tapi berlaku umum, namun kalau dijabarkan di zaman seakarang, justru pola makan dan menu makan kita banyak yang masuk kriteria membinasakan dan bahkan membunuh kita.
Contohnya memakan makanan yang kadaluarsa itu haram, berdasarkan wahyu juga. Namu ada logikanya, karena makanan kadaluarsa itu membahayakan tubuh kita.
Makanan yang menggunakan zat-zat berbahaya, seperti zat-zat pengawet, pewarna, mengandung pestisida, karsinogen, dalam ambang batas yang tidak diizinkan oleh badan pengawas makanan dan obat (BPPOM).
Sayangnya, untuk jenis larangan memakan makanan yang madharat ini, tidak termuat dalam kitab fiqih klasik. Alasannya karena di masa kitab-kitab itu ditulis, memang belum ada jenis makanan itu.
Kalaupun sudah ada, belum ada penelitian tingkat lanjut terhadap madharat yang ditimbulkan.
oOo
Kalau yang sudah pasti berbahaya tanpa harus lewat penelitian adalah makan mie instan. Tahu anda kenapa berbahaya?
Karena hampir semua produk mie instan itu mengandung zat yang tidak boleh dikonsumsi oleh tubuh kita, yaitu plastik. Kalau sampai masuk ke tubuh, plastik ini tidak bisa dicerna oleh struktur perut kita dan jadi bahan yang merusak tubuh.
Sekedar saran saja, kalau pun terpaksa harus masak mie instan, sebaiknya bungkus plastiknya dibuka dulu dan dibuang, jangan ikut dimakan.
Yuk kita hidup sehat sambil jaga imun. amin.
Komentar
Posting Komentar