Ust. Ahmad Sarwat, LC, MA.
Menulis kitab hadits buat saya menjadi tantangan tersendiri. Bukan apa-apa, karena sebenarnya sudah terlalu banyak sekali kitab hadits yang ditulis para ulama.
Ada kitab Arbain Nawawiyah yang berisi 42 hadits. Ada juga Riyadhus-Shalihin dan masih banyak lagi.
Namun di hari ini, kalau pun ada kebutuhan menulis kitab hadits, menurut saya adalah menulis kitab syarah atau penjelasan hadits. Tentu saja dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Arab yang diterjemahkan.
Dan lebih spesifik lagi, khususnya syarah atas hadits-hadits yang paling sering disalah-pahami isinya. Dimana hadits-hadits itu sering digunakan dalam berdalil ini dan itu, namun keliru dalam penggunaannya.
oOo
Contohnya hadits ngetop dan populer tentang sampaikanlah walaupun hanya satu ayat. Hadits ini sering disalah-pahami sekaligus disalah-gunakan.
Nabi SAW memerintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam, meskipun hanya satu ayat.
Tapi dipahami oleh banyak orang dengan keliru dan fatal sekali, yaitu meski pun kita tahunya cuma satu ayat, sudah wajib untuk menyampaikan.
Padahal perintah menyampaikan satu ayat itu hanya berlaku buat mereka yang sudah punya ilmu tentang Al-Quran secara keseluruhan. Bukan yang tahunya baru ayat itu saja.
Jadi kalau baru tahunya satu ayat, apakah tidak boleh menyampaikan?
Lihat-lihat dulu, sebab seringkali suatu ayat punya korelasi dengan ayat yang lain. Dan tidak mungkin kita jelaskan makna suatu ayat tanpa menjelaskan ayat yang lain.
Lagian menjelaskan isi kandungan suatu ayat itu butuh rujukan, setidaknya kitab tafsir. Apalagi kalau mau menjelaskan kandungan hukumnya, maka bukan kitab tafsir lagi, malah kitab fiqih.
Maka menjelaskan satu ayat dengan hanya bermodalkan terjemahan Al-Quran itu keliru besar. Apanya yang mau dijelaskan?
Ditanya ayat itu apa asbabun nuzulnya, tidak tahu.
Ditanya ayat itu apa munasabahnya, tidak tahu.
Ditanya ayat itu apa siyaqnya, tidak tahu.
Ditanya ayat itu Makiyah atau Madaniyah, tidak tahu.
Ditanya ayat itu mansukh atau tidak, tidak tahu.
Ditanya ayat itu ayat itu 'aam atau khash, tidak tahu.
Ditanya ayat itu mujmal atau mubayyan, tidak tahu.
Ditanya ayat itu muthlaq atau muqayyad, tidak tahu.
Ditanya ayat itu manthuq atau mafhum, tidak tahu.
So, jadi tahunya apa dong? Kayak gitu kok mengaku sudah tahu satu ayat?
Dan berhubungan ilmu Al-Quran itu luas sekali, maka yang boleh disampaikan hanya sebatas yang ilmunya sudah dikuasai.
Bisa nggak menjelaskan i'rab dari tiap kata di ayat itu? Mana fi'il, mana fa'il dan mana maf'ul? Mana Mubtada' dan mana khabarnya?
Bisa nggak menjelaskan hukum-hukum tajwid dari ayat itu? Mana yang Izhar, Idgham, Iqlab dan Ikhfa'?
Bisa nggak menjelaskan wajah berbedaan qiraat dari ayat itu? Bagaimana kalau pakai riwayat Hafsh, Qalun, Ibnu Katsir, Ad-Duri dan lainnya?
Kok diam saja? Katanya sudah menguasai satu ayat? Kok dari tadi diam saja?
oOo
Kembali ke hadits yang sering disalah-pahami dan disalah-gunakan, apa contohnya lainnya?
Contohnya hadits tentang Nabi SAW mengancam mau bakar rumah orang yang tidak mau shalat berjamaah lima waktu di masjid. Meski hadits itu dishaihikan oleh AL-Bukhari dan Muslim, namun cara menarik kesimpulannya banyak yang ngasal.
Masuk masjid cuma buat ngecek absen, siapa saja yang tidak ikutan shalat berjamaah. Ternyata di masjid itu cuma ada 30-an jamaah shubuhnya. Padahal jumlah rumah di komplek itu ada 200-an.
Terus pergi membakar seluruh rumah di komplek itu, kecuali ada 30 rumah yang tidak dibakar.
Kok rumah-rumah itu dibakar? Kenapa?
Jawabnya karena Nabi SAW mau membakar rumah orang yang tidak shalat berjamaah ke masjid. Sesuai dengan nash hadits, maka wajib hukumnya bakar rumah-rumah yang penghuninya tidak berjamaah di masjid. Haditsnya shahih banget lho.
oOo
Tentu saya yang bakar rumah orang sekomplek itu masuk penjara. Karena telah melakukan tindak kriminal yang terbukti lewat CCTV dan pengakuan.
Ketika disidang oleh pak Hakim, dalam pledoi pembelaannya dia beralasan unik sekali :
"Demi Allah, saya ini hanya sekedar menjalankan apa yang ada di dalam hadits nabi, bahwa kita wajib membakar rumah orang yang tidak shalat berjamaah di masjid. Masak saya mau disalahkan? Saya ini tidak mengada-ada lho, pak Hakim".
Hakimnya pinter lalu balik bertanya :
"Apakah saudara tahu, di masa kenabian itu, berapa jumlah rumah yang roboh karena dibakar oleh Nabi SAW?"
Tersangka saat itu diam tidak bisa jawab. Otaknya sibuk mikir tapi nggak ketemua jawabannya.
Maka hakim bertanya lagi : "Berapa jumlah rumah yang dibakar oleh NAbi SAW?"
"Tidak ada, pak. Eh tidak tahu." jawab tersangka.
"Tidak tahu apa tidak ada?", tanya hakim lagi.
"Tidak ada, pak. Iya tidak ada yang dibakar", jawab tersangka lagi.
Nah, jadi kenapa kamu bakar rumah orang? Padahal Nabi SAW saja tidak pernah membakarnya? Buktinya tak satu pun rumah yang roboh karena dibakar Beliau SAW kan?"
Iya ya, kok saya bingung. Sebentar pak Hakim, saya lagi bingung ini. Iya ya, kok nggak terpikir sama saya ya. Ternyata tidak ada satu pun rumah yang dibakar oleh Nabi SAW. Berarti saya keliru dong, pak Hakim.
Nah, kenapa kebelet banget buru-buru main bakar rumah orang? Kenapa?
Soalnya saya terlalu bersemangat, pak Hakim. Kan haditsnya juga shahih.
Kalau Rasulullah SAW ada disini saat ini menyaksikan apa yang barusan kamu lakukan, kira-kira Beliau SAW marah nggak?
Eh, iya ya marah dong pasti ya.
Nah, berpikir dulu lah sebelum bertindak. Jangan merasa sudah paham agama, tapi ternyata salah paham dan salah tafsir begitu.
Belajar hadits itu jangan asal ambil kesimpulan sendiri seenak udel kayak kamu itu. Minimal baca kitab-kitab syarahnya.
Iya pak Hakim. Terima kasih nasehatnya.
oOo
Maka dari itulah saya kepingin menulis kitab syarah hadits, khususnya hadits-hadits yang paling sering disalah-pahami dan disalah-gunakan.
Komentar
Posting Komentar