Banyak kalangan terjebak pada kekeliruan dalam memahami hadits Nabawi. Salah satunya adalah kekeliruan pada stigma klasik : Bahwa hadits shahih itu selalu diamalkan dan hadits tidak shahih dibuang.
Kenapa saya bilang stigma yang keliru?
Karena secara teori dan praktek, kaidah itu terbukti tidak akurat dan tidak benar. Kalau pun ada benarnya, hanya pada sebagian kasus. Dalam banyak kasus lain, kaidah atau stigma itu terbukti keliru.
Keliru?
Karena ternyata tidak semua hadits Shahih itu bisa digunakan. Dan sebaliknya, hadits yang tidak sampai derajat Shahih tidak harus selalu dibuang.
Wah kok gitu ya?
oOo
Maka belajar ilmu hadits itu harus benar-benar otentik dari kalangan ahli hadits yang ilmunya bersanad. Jangan mengandalkan tokoh yang ilmunya cuma hasil baca-baca di perpustakaan saja.
Dalam kajian ilmu hadits, sanad itu penting bukan hanya dalam urusan periwayatan hadits, tapi juga dalam ilmu musthalah hadits.
Belajar ilmu hadits tidak boleh hanya lewat baca buku tanpa guru yang pakar di bidangnya.
Kalau tidak, nanti akan terjebak dengan stigma keliru seperti tadi di atas. Seolah-olah urusan hadits sekedar shahih dan tidak shahih saja.
Padahal keshahihan hadits itu baru awal mula saja. Kita belum masuk ke masalah intinya.
Disini bedanya ilmu hadits yang diajarkan oleh ulama hadits dengan mereka yang hanya ngaku-ngaku sebagai ahli hadits. Beda jauh sekali.
Ibarat orang berlayar mengarungi lautan, kita masih di dermaga dan belum ketemu ombak besar, badai dan atau angin taufan yang mengamuk.
Baru sekedar ditiup angin pantai yang sepoi-sepoi. Shahih tidak shahih itu mudah sekali dibedakannya. Sudah ada sekian ratus judul kitab hadits yang ditulis para ulama.
oOo
Namun kita baru masuk ke inti masalah dalam kajian ilmu hadits ketika kita menemukan hadits-hadits shahih yang justru saling bertentangan satu dengan yang lain.
Saya dulu dapat mata kuliah S-2 yang judulnya cukup unik ini langsung diampu oleh Alm. Prof. Dr. Ali Musthafa Ya'qub, Lc.MA. Mata kuliah : Ikhtilaful Hadits.
Semua yang dibahas hanya sebatas hadits-hadits yang shahih saja. Yang tidak shahih entah itu hanya hasan, dhaif bahkan yang maudhu', jelas tidak masuk pembahasan.
Dan rupanya baru tersadar ternyata jumlah shahih yang saling bertentangan itu banyak sekali. Sehingga bikin kita bingung bagaimana menyelesaikannya.
Apakah diukur ulang kadar keshahihannya sehingga kudu diperas lagi? Mana yang lebih shahih diambil?
Dan mana yang kalah nilai shahihnya dibuang? Atau pilih yang mana saja terserah? Atau bagaimana?
Ternyata di masa lalu para ulama sudah banyak membahas tema ini secara mendalam serta telah selesai dalam membuatkan formula dan rumusan metodologinya.
Salah satunya karya Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah yaitu Mukhtalaful Hadits.
Nah, kalau mereka yang baru sedikit melek ilmu hadits, pasti jelas belum sampai level pemhamannya di wilayah ini. Mereka masih saja sibuk ngeributin soal Shahih atau tidak shahih.
Ilmunya nggak nambah-nambah, baik gurunya apalagi muridnya. Stagnan, beku, jumud dan rada terbelakang. Sumber masalahnya sederhana sekali : ternyata mereka sendiri justru tidak pernah duduk di fakultas hadits. Tidak pernah belajar ilmu hadits secara terstruktur.
Tapi merasa diri paling ahli di bidang hadits, sambil jarinya sibuk menuding-nuding orang lain dengan tuduhan-tuduhan yang aneh, lucu dan bikin terbahak-bahak.
Sehingga masih saja pakai stigma keliru : semua hadits Shahih kita pakai dan yang tidak shahih kita buang.
Itu bukti nyata bahwa seseorang tidak pernah belajar ilmu hadits yang sesungguhnya. Padahal kalau sempat sehari saja duduk di fakultas ilmu hadits, belajar ilmu musthalah para ahli hadits, tidak akan mungkin terjebak dengan stigma kacau seperti itu.
Hari ini kita punya problem besar yang amat menyebalkan, yaitu ketemu dengan orang-orang yang jahil terhadap ilmu hadits, tapi merrasa dirinya paling pintar urusan hadits.
Lucunya mereka itu tidak punya jalur sanad, baik sanad periwayatan hadits atau sanad di bidang ilmu musthalah hadits. Kalau diminta sebutkan satu saja satu nama ulama hadits yang anda pernah bermulazamah kepadanya, diam saja tanda memang tidak pernah belajar.
Kalau pun dia sebut nama seorang tokoh, ternyata orang itu bukan ulama ahli hadits. Karena orang itu pun tidak punya sanad keilmuan baik di bidang periwayatan hadits atau pun di bidang ilmu hadits.
Gurunya hanya tokoh-tokoh yang tidak pernah punya sanad di bidang ilmu hadits.
oOo
Lalu apa saja contoh hadits-hadits shahih yang tidak harus diamalkan?
Kenapa tidak harus diamalkan?
Hal-hal apa saja yang jadi sebab suatu hadits yang sudah berstatus shahih tapi ternyata tidak perlu diamalkan?
Saya coba kumpulkan sedikit saja, setidaknya 42 hadits. Tentu ini sekedar sample saja. Jumlahnya tentu jauh lebih banyak dari ini.
Buku ini bisa dipesan langsung saja ke Ustadz Lukman Syafri di nomor hp beliau 085-341-771-661
Daftar isinya bisa diintip di link ini rumahfiqih.com/buku/1/27
Komentar
Posting Komentar