Oleh Ust Ahmad Sarwat LC MA
Dulu saya pernah jadi penganut prinsip bahwa dalam beribadah itu yang lebih utama adalah kualitas, walau pengerjaannya tidak rutin alias jarang-jarang dikerjakan.
Namun semakin kesini saya mulai merasakan bahwa ibadah lebih akan lebih baik dan lebih besar pahalanya dengan pendekatan terbalik, yaitu tidak apa-apa meski tidak terlalu berkualitas asalkan dikerjakannya secara rutin.
Contohnya durasi dalam pengerjaan shalat tahajjud dan tarawih. Dulu saya lebih mementingkan kualitas, dimana prinsipnya semakin lama berdiri semakin baik kualitas shalatnya.
Logikanya, semakin lama berdiri akan semakin banyak ayat Al-Quran yang dibaca, maka akan semakin banyak nilai pahala yang didapat. Dalam prakteknya satu rakaat bisa menghabiskan dua sampai tiga halaman mushaf. Dan satu malam tarawih bisa menghabiskan satu juz.
Namun setelah dievaluasi, tarawih dan tahajjud model kayak gitu ternyata tidak mampu saya lakukan secara rutin setiap malam. Lama-lama kok terasa capek juga.
Hanya pada malam tertentu saja saya mampu melakukannya. Misalnya hanya pada malam ganjil saja, di luar itu badan saya lelah kecapean. Kalau pun dipaksa-paksa hasilnya pun tidak maksimal.
Lalu saya melihat orang lain yang ibadahnya rutin tidak pernah berhenti. Tarawih dan tahajjudnya setiap malam, full 30 malam selama Ramadhan.
Memang sih secara durasi pengerjaan, termasuk yang biasa-biasa saja. Bacaannya tidak pernah sampai ke ayat-ayat yang panjang, tidak sampai nangis-nangis berderai air mata.
Praktis hanya baca turutan, kata orang Jawa. Mulai dari Surat At-Takatsur, Al-Ashr sampai An-Nas. Surat-surat yang menurut saya terlalu biasa-biasa saja.
Tapi jujur harus saya akui bahwa ujung-ujungnya mereka lebih rutin dan lebih rajin dari saya. Tarawih saya menang dari lamanya durasi, tapi kalah total kalau dilihat secara absensi dalam sebulan.
Tarawih saya dan tahajjudnya cenderung bolong-bolong, malah jujur ternyata lebih banyak bolongnya ketimbang dikerjakannya.
Akhirnya saya malu sendiri dengan orang-orang itu. Kalau mereka, mau malam genap atau malam qanjil, sikat terus tidak terlalu jadi masalah.
Di akhir Ramadhan, mereka tidak punya bolong dan absen, saya kok dihitung-hitung cuma sembilan atau sepuluh malam saja. Selebihnya nol, kosong, bolos, nihil, dan terlewat begitu saja.
Hasilnya tidak ada satu malam pun di bulan Ramadhan yang berlalu begitu saja. Memang sih menurut saya kualitasnya kurang meyakinkan, terlalu cepat bacaannya dan terlalu sederhana. Namun urusan rutinnya, saya kalah telak. Saya mengaku kalah dari mereka.
Maka saya kemudian mulai merenungkan semua itu, dari satu Ramadhan ke Ramadhan yang lain. Dan akhirnya saya putuskan untuk mengubah pendekatan. Saya tidak harus terlalu meributkan durasi shalat dan lamanya berdiri. Tapi saya lebih konsen kepada rutinitasnya, bagaimana caranya biar tiada satu malam pun dari bulan Ramadhan yang terlewat begitu saja tanpa tarawih dan tahajjud.
oOo
Prinsip itulah yang kemudian saya terapkan juga di dalam kehidupan yang lainnya. Misalnya dalam hal menulis. Ketimbang sibuk dengan angan-angan dan koleksi niat mau menulis judul ini atau itu, tapi tetap saja tidak dikerjakan dan tidak ditulis, maka saya ubah saja polanya.
Tidak usah ribut mau nulis itu atau nulis itu. Pokoknya begitu ada ide, langsung saja dituliskan. walaupun tidak jelas judulnya. Toh judul itu tidak penting. Yang penting justru isinya.
Saya menganut sistem, tulisan yang baik itu yang ditulis dan dibaca orang, bukan yang direncanakan insyaallah akan dicita-citakan suatu ketika nanti ditulis. Itu namanya panjang angan-angan.
Dalam bahasa saya, orang kayak itu saya sebut : 'kebanyakan judul di kepalanya'. Banyak rencana, tak satupun terlaksana.
oOo
Saya perhatikan prinsip yang sama juga terjadi dalam proses belajar. Tiap hari hidup kita diisi dengan bolak-balik rumah dan sekolah. Di zaman mahasiswa, bolak-balik kamar kos dan kampus.
Belajar itu ada rentang waktunya. Dari pagi sampai siang, atau sore atau malam. Ada semesterannya, ada ujian naik tingkat dan setersunya.
Semua didapat lewat proses panjang, bukan tiba-tiba langsung jadi sarjana dan mengaku-ngaku sebagai ahli. Lagian otak kita tidak seperti harddisk yang bisa langsung diinstall aplikasi Maktabah Syamilah dengan ribuan koleksi buku.
Otak kita perlu proses belajar dan mengungulang-ulang berkali-kalim untuk dapat memahami suatu konsep, merekamnya dengan baik dan memanggil rekaman itu lewat triger tertentu.
oOo
Saya juga melihat prinsip yang mirip sekali dalam proses turunnya Al-Quran. Kitab suci kita itu sebenarnya sangat tebal dan jumlahnya ayatnya sangat banyak. Bayangkan, jumlah ayatnya mencapai 6.236 butir, jumlah suratnya menjadi 114. Dan versi mushaf cetakan Madinah membutuhkan 604 halaman untuk memuat 30 juz.
Namun proses penurunannya memang terbilang cukup lama, mencapai durasi 23 tahun. Turunnya sedikit demi sedikit, namun rasanya nyaris tiada hari tanpa update terbaru ayat yang turun.
Proses ini bukan hanya memudahkan para shahabat untuk menghafalnya, juga memudahkan dalam proses penulisannya, serta dalam memahami isi penjelasan dari Nabi SAW atas konten kandungan hukum dan pelajaran di dalamnya.
Tidak seperti kitab suci lain yang turun kepada para nabi dan rasul sebelumnya yang turun sekaligus, Al-Quran turun sedikit demi sedikit. Dan yang ternyata tetap abadi terjaga secara orisinil sampai sekarang memang hanya Al-Quran. Yang lainnya banyak terjadi perdebatan di antara pemeluk agamanya sendiri.
oOo
Dan prinsip penciptaan bumi dan langit pun saya merasakan juga demikian. Allah SWT Tuhan Yang Maha Pencipta, ternyata menyebutkan bahwa telah menciptakan dalam enam hari.
Padahal dalam suatu ayat disebutkan bahwa kalau Allah SWT mau, untuk menciptakan makhluk itu cukup dengan mengatakan : Kun (jadilah), maka jadilah makhluk itu (Fa yakun).
Lalu dalam menciptakan alam semesta kok tidak pakai kun fayakun? Saya memandang secara subjektif, nampaknya Allah SWT menjelaskan bahwa proses penciptaan itu penting.
Jangan langsung tiba-tiba harus tercipta. Bahkan Tuhan pun mengajarkan proses itu. Walau mudah saja bagi-Nya untuk mencipta dalam sekejap.
oOo
Proses penciptaan manusia yang cukup panjang juga beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran. Mulai dari air mani yang dipancarkan, lalu menjadi gumpalan daging dan darah, janin, bayi dan lahir ke dunia sebagai manusia.
NOTE
Kecuali Nabi Adam dan Hawa, seluruh manusia hadir ke dunia lewat proses kehamilan dan kelahiran. Belum ada satu pun manusia yang muncul lewat cetakan kue, panggangan, atau dari nogol dari kukusan dalam keadaan masih ngebul.
Yang kayak gitu bukan manusia, tapi kue dongkal namanya.
Komentar
Posting Komentar