Jahiliyah Abad 21

Ust Ahmad Sarwat LC MA

Yang namanya otoritas itu gampangnya kita sebut pihak yang berwenang untuk menjelaskan suatu masalah. 

Ketika kita sibuk bertikai tentang apa makna dari suatu ayat Al-Quran, maka siapa kah yang paling bisa dipegang pendapatnya?

Jawabannya tentu saja Rasulullah SAW. Beliau itu pemegang otoritas. Resmi dan berlisensi pula. 

Secara logika, Al-Quran diturunkan kepada dirinya. Tuhan berbicara kepada Beliau. Jadi kalau mau tau apa yang sedang dibicarakan, yang paling tahu ya Tuhan dan Nabi SAW.

Mau tahu apa makna dan kandungan hukum suatu ayat yang diturunkan? Gampang banget jawab, tanyakan saja kepada Nabi SAW.  Sederhana saja, kan?

Misalnya ada ayat yang cukup aneh, dimana kita disuruh menyembah Allah sampai datang keyakinan. Maksudnya apa? Bukankah kita sudah yakin? 

Ternyata Nabi SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan 'keyakinan' adalah kematian atau ajal. 

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. Al-Hijr : 99)

Jelas bahwa pihak yang punya otoritas dalam menafsirkan Al-Quran bukan si Fulan atau si fulan. Apalagi tokoh yang lahirnya 14 abad kemudian. Tidak bisa bahasa Arab pula. 

Kok tiba-tiba merasa jadi pihak yang paling mengerti Al-Quran? Logikanya jelas ngawur dan tidak nyambung. 

Lucunya, kita sebagai orang awam, kadang eh seringkali rancu dalam menetapkan siapakah pihak yang punya otoritas yang jadi rujukan. 

Alih-alih merujuk kepada Nabi SAW, malah merujuk kepada orientalis non muslim. Padahal kita lagi membedah isi Al-Quran.

Kalau mau tahu kayak apa Fisika paling dasar tentang gerak, gravitasi, optik boleh tanya ke Sir Isaac Newton. 

Tapi kalau sudah lebih modern, levelnya naik jadi fisika dengan konsep  relativitas, tanya ke Albert  Eisntein. 

Dan kalau sudah lebih tinggi lagi semacam fisika kuantum, tanya Stephen Hawking. 

Intinya tiap masalah itu ada ahlinya. Tanyakan kepada ahlinya dan keliru dalam menentukan siapa ahlinya. 

oOo

Bagaimana dengan Rasulullah SAW sendiri? Apakah Beliau ahli di segala bidang?

Kita sebagai umat Nabi, wajib mencintai dan memuliakan Beliau SAW. Dalam keadaan apapun beliau adalah makhluk paling mulia, paling tinggi derajatnya, paling dicintai Allah SWT. 

Namun Allah SWT berkenan memposisikan beliau sebagai manusia biasa, dengan segala keadaannya yang sangat manusiawi. Beliau lahir dalam keadaan yatim, miskin dan bersahaja. 

Sebagai Nabi, beliau punya banyak fasilitas, tapi beliau agak jarang menggunakannya. Jadi tidak seperti Nabi Musa belah lautan atau nabi Isa yang bisa hidupkan orang mati. 

Nabi SAW itu tetap kudu bikin strategi bagaimana sembunyi di Gua Tsour, sewa penunjuk jalan, main akal-akalan dalam perang, dan seterusnya.

Uniknya, seorang Nabi Muhammad SAW itu malah pernah bersabda:

أنتم أعلم بأمور دنياكم

Kalian lebih paham dengan urusan dunia kalian. 

Jangan ditafsirkan macam-macam, karena ungkapan ini beliau SAW sampaikan ketika prediksinya kurang tepat, terkait dengan pembuahan bunga kurma. 

Diskusinya sama petani kurma Madinah. Menurut Beliau SAW, penyerbukan itu tidak perlu dilakukan. Secara logika toh tidak masuk akal. Tapi secara tradisi, begitulah yang dilakukan petani kurma Madinah.

Dan teori untuk tidak usah dilakukan penyerbukan itu pun diujikan. Tahun itu tidak ada penyerbukan. Lalu dites kayak apa hasil panennya. 

Ternyata hasil panen kurma di tahun itu kurang menggembirakan. Hasilnya jadi berkurang jauh di banding tahun-tahun sebelumnya.  Itu fakta empiris. Tidak ada unsur magis apalagi doa-doa khusus. Seratus persen bicara hukum fisik saja. 

Disitulah Nabi SAW mengajarkan pelajaran penting bagi kita. Antum lebih paham urusan dunia kalian. Jadi atur saja sebaik-baiknya.

oOo

Apakah dengan fakta itu kita anggap Nabi SAW sebagai orang bodoh tidak berilmu? Apa kita termasuk mendown-grade seorang Nabi? Apakah kita tidak perlu beriman kepada risalah yang dibawanya?

Tidak, tidak dan tidak. 

Nabi SAW tidak lantas jadi bodoh dengan fakta itu. Justru Nabi SAW amat profesional. Beliau tegaskan bahwa tiap manusia punya keahlian masing-masing dan tidak sama. 

Selain itu dalam kasus ini kita jadi tahu dua sisi yang ada pada diri beliau SAW.  Beliau tegas memisahkan antara posisi beliau sebagai nabi dan posisi beliau sebagai manusia biasa. 

Dan kejaidan seperti itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Misalnya, saat Beliau menyewa jasa Abdullah bin 'Uraiqizh yang kafir itu secara profesional untuk memimpin perjalanan hijrah. 

Kenapa Beliau butuh jasa penunjuk jalan?

Karena kalau lewat trek yang biasanya jelas mustahil. Karena semua rute jalan ke Madinah sudah diblokade oleh musyrikin Mekkah. 

Maka rute satu-satunya yang aman adalah tidak lewat satu pun rute yang ada. Tapi bikin rute sendiri dimana belum pernah ada manusia lewat jalur itu sebelumnya. 

Disitulah peran si kafir penunjuk jalan itu. Dia seorang ahli navigasi. Tidak akan tersesat di gurun tak bertepi macam Bani Israil zaman Musa dulu. Nyasar kok 40 tahun? 

Berkat si kafir itu, Nabi SAW tiba di Madinah right on schedule. Ada beda sedikit waktu karena jalannya hanya di malam hari, siangnya sembunyi. Pentunjuknya bintang-bintang saja. 

Sudah mirip pelaut yang berjalan berdasarkan posisi bintang. Bedanya, lautnya berupa pasir. Pada pelintas gurun tidak pernah berjalan di malam hari. Mereka melintas di siang hari. 

Tapi Nabi SAW melintasi gurun pasir seperti pelaut, hanya melintas di malam hari saja. Butuh navigator handal si Uraiqizh itu. Meski kafir, tapi ilmunya dibutuhkan. Untungnya dia mau dibayar profesional dan siap tutup mulut. 

Jadi siapa yang lebih berilmu, apakah Nabi SAW atau si kafir itu? 

Jawabannya tergantung, dalam bidang ilmu apa nih? Kalau urusan navigasi dan baca peta bintang, ya si kafir lah. Nabi SAW malah ikut saja. Bukan cuma ikut, malah membayar. 

Tidak ada penolakan dari Abu Bakar. Beliau oke oke saja. Nggak nyinyir bilang : Ngapain pakai jasa orang kafir? Minta petunjuk Jibril aja. Atau minta kirim Buroq deh, kayak waktu Isra' Mikrah kemarin. Lagian biar cepat sampai tujuan Madinah nih. 

Ternyata Abu Bakar tidak bilang gitu. Keduanya malah ngekor saja di balakng si kafir. 

oOo

So, sampai disini kita jadi tahu bagaimana membedakan mana sumber yang punya otoritas dan mana yang bukan otoritas. 

Mau tanya isi Qur'an? Tanya Nabi SAW. 

Mau tahu cara penyerbukan bunga kurma? Tanya petani kurma Madinah. 

Mau tanya mana trek ke Madinah yang belum pernah ada? Tanya si Uraiqizh. 

Mau tahu dimana fisika klasik sampai modern, tanya Newton, Eisntein dan Hawking. 

Mau tahu apapun, tanya kepada yang punya otoritas di bidangnya. 

oOo

Problem kita zaman sekarang justru kita tidak tahu keberadaan suatu ilmu dan sekalian juga tidak tahu siapa yang punya ilmu itu.  

Bodohnya pangkat dua, bodoh kuadrat. Bodoh yang sebodoh-bodohnya. 

Eh, masih ditambah lagi kebodohan level berikutnya. Apa?

Membodoh-bodohkan orang yang sebenarnya justru pakar di bidangnya. Bodoh pangkat tiga. 

Kalau level kebodohannya sampai level situ, apa masih ada harapan keluar dari liang kebodohan?

Kok saya agak sulit berharap ya. Coba saja perhatikan hoaks di medsos, bagaimana info dibuat oleh orang bodoh dan diviralkan oleh sejuta orang bodoh lainnya. Maka kebodohan lah yang lebih memang dan viral. 

Sementara kalangan yang ahli beneran, suaranya dibungkam bahkan dibodoh-bodohkan oleh sekumpulan orang bodoh. 

Ketika otoritas keilmuan tidak lagi di tangan ahlinya, tapi di tangan orang bodoh. Saya kira kali kita kasih judul keren, asik juga ya : Jahiliyah Abad 21. 

Gimana? Keren kan?

Baca Juga

Komentar