Ust Ahmad Sarwat, LC, MA
Dalam fiqih Zakat kita menemukan kesimpulan bahwa uang (baca: koin emas dan perak) yang ditimbun justru tidak baik. Uang itu harus diputar biar tidak terkena kewajiban zakat.
Oleh karena itu harta anak yatim itu sebaiknya diputar, agar jangan habis termakan zakat.
Pada intinya, zakat itu jadi semacam 'hukuman' bagi pemilik uang yang tidak diputar.
Tapi anehnya di masa modern ini, di tangan mereka yang bukan ahli fiqih, usaha untuk memutar uang justru dikenai zakat.
Usaha kok kena zakat? Usaha itu kena pajak, bukan zakat. Lucunya pada tidak bisa bedakan mana zakat mana pajak.
Agak terasa aneh memang. Uang nganggur terkena zakat, maka harus diputar. Lho kok begitu diputar malah kena zakat?
Logika yang agak unik, karena zakat usaha itu sendiri malah tidak kita temukan nash-nya baik dalam Al-Quran atau pun Hadits.
Faktanya tidak ada SOP yang rinci. Misalnya, yang namanya usaha itu kan luas sekali bidangnya, mulai dari jual beli, sewa menyewa bahkan menyediakan jasa.
Apakah semuanya dipukul rata begitu saja? Kalau guru ngaji disalam-tempel amplop sama muridnya, apa itu termasuk usaha? Terus kena zakat?
Tukang bakso jualan,lalu dapat untung dari hasil usahanya, terus gimana hitungan zakatnya, menurut hadits nabi?
Mana hadits nishab usaha jualan bakso? Mana hadits tentang berapa persen kewajiban zakatnya? Mana hadits terkait omset atau margin keungtan yang Dizakatkan? Mana hadits nya?
Yang saya tanya itu haditsnya, bukan qiyasnya. Sebab kalau qiyas, apapun bisa-bisa saja dikenakan zakat.
Kayak gitu itu kan tidak ada teks yang detail dan rinci dari ayat atau hadits. Cuma hasil cocokologi kalangan tertentu saja. Makanya, semua kriteria zakat usaha itu lucu-lucu, karena unik dan tisa pernah sama bentuknya.
Soalnya yang menelorkan fatwanya beda-beda institusinya. Mereka kemudian ngarang-ngarang sendiri saja. Tidak ada teks yang dijadikan rujukan, kecuali teks itu ditafsiri kesana kemari secara liar.
Kalau jujur dengan fiqih klasik, zakat usaha itu harus spesifik, bukan asal yang penting ada usaha lalu krna zakat.
Kita butuh dalil hadits tentang berapa nishabnya, berapa persen zakatnya. Lalu menghitung zakat sekian persen itu berdasarkan apa? Apakah dari omset atau dari keuntungan?
Sayangnya, hadits macam itu tidak ada yang spesifik. Semua hasil qiyas sesuai kepentingan dan selera.
Tiap institusi dan lembaga zakat pada sibuk mengarang sendiri-sendiri. Bahkan pada bikin tesis dan disertasi, seolah-olah hasil ngarang kayak gitu sudah sangat ilmiyah.
Namun kebenaran tidak bisa dibohongi. Ternyata karena hasil ngarang, hasilnya ketahuan bahwa SOP yang mereka bikin itu tidak sama. Dan saling bertentangan.
Karena yang jadi Inti pokoknya cuma satu : yaitu apapun yang berpeluang dikenakan zakat coba diijtihadkan. Ada orang punya usaha sukses.
Ya sudah, dicarikanlah logika, ayat, hadits apapun, nyambung nggak nyambung, pokoknya gimana caranya biar bisa disedot duitnya.
Tidak punya metodologi tidak jadi masalah. Yang penting bisa sedot duit sebanyak-banyaknya, kalau perlu pakai saja istilah zakat, biar kelihatan wajib.
Walaupun tidak pernah ada kajian fiqih Zakat usaha macam itu di empat Mazhab. Toh semua bisa dikarang sendiri dengan mengatas-namakan ijtihad kontemporer.
Komentar
Posting Komentar