Kajian Ayat-ayat Sainstifik Dalam Perspektif Tafsir Klasik vs Tafsir Modern


Oleh Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Judul ini saya akui lebih mirip judul tesis atau disertasi, padahal saya bukan lagi mau nulis karya ilmiyah. Ini tulisan santai saja, namun menurut hemat saya memang sangat unik. 

Bagaimana uniknya?

Biasanya ayat-ayat terkait dengan sains itu dijabarkan panjang lebar oleh orang-orang di zaman modern dengan baju tafsir modern. 

Dan seringkali yang menjabarkannya malah bukan ahli tafsir tapi oleh ilmuwan dan saintis. Sehingga lebih terkesan kajian sains ketimbang kajian tafsir. 

Kalau pun terkait tafsir, ternyata masuknya ke ranah tafsir bir-ra'yi, entah mahmud (terpuji) atau pun madzmum (tercela). 

Ciri khas tafsir bir-ray'i yang saya rasakan langsung biasanya malah tidak ada kajian terkait asbabun-nuzulnya, juga tidak ada penjelasan tentang konteks (siyaq), munasabah, apakah ayat itu makki atau madani. 

Biasanya cenderung banyak bermain di sisi otak-atik sisi bahasa Arabnya, atau langsung masuk bab pelajaran fisika, kimia, geologi, astonomi dan seterusnya. 

Oh ya satu lagi, biasanya juga tidak sempat mengutipkan kajian tafsir bil-ma'tsurnya atau tafsir klasiknya. Ya, iya lah. Kan yang tulis memang bukan level mufassir. 

Di bagian inilah yang justru menarik untuk dikaji, yaitu bagaimana kita membandingkan tafsir modern dengan tafsir klasik. Ini adalah ranah unik dalam kajian tafsir, yaitu : Perbandingan Tafsir Bil-Ma'tsur dengan Tafsir Bir-Ra'yi Dalam Ayat-ayat Saintifik.

Dengan melakukan komparasi antara kedua genre tafsir itu nanti bisa kita baca bagaimana perbedaan gaya penafsiran klasik dan modern, serta seberapa jauh kira-kira penafsiran modern itu menjauh dari konteks ayatnya.

Contoh Kasus : Penciptaan Dalam 6 Hari 

Di dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menyebutkan bahwa bumi dan langit diciptakan dalam waktu enam hari. Setidaknya tujuh kali disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini.

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ 
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ´Arsy. (QS. Al-Araf : 54)

Di kalangan ilmuwan muslim modern, enam hari masa penciptaan bumi dan langit itu biasanya ditafsirkan menjadi enam masa penciptaan. 

Bahkan teks terjemahan Al-Quran versi kementerian Agama RI pun tidak menerjemahkan 'sittatu ayyam' (ستة أيام) sebagai enam hari, tetapi diubah menjadi enam masa. 

Meski pun juga tidak pernah dijelaskan apa yang dimaksud dengan enam masa itu. Juga tidak pernah ada rincian bagaimana cara kita membedakan masa pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam. 

Pokoknya enam masa, tapi seperti apa rinciannya, tidak pernah ada penjelasan ilmiyahnya. 

Sementara kalau benar-benar menggunakan analisa sains modern yang baku dan setidaknya menjadi standar ilmu pengetahuan hari ini, usia alam semesta kita ini sudah cukup tua. Alam semesta ini diperkirakan sudah berusia 13,7 miliar tahun, setidaknya sejak big-bang terjadi.

Intinya, bahkan tafsir modern yang mengubah makna enam hari menjadi enam masa, belum selesai menjalaskan enam masa itu seperti apa? Bagaimana pembagian periode-periode enam masa itu, masih rada gelap juga sebenarnya. 

Lantas bagaimana dengan tafsir era klasik?

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3 hal. 426 menjelaskan, menurut para ulama klasik bahwa yang dimaksud dengan enam hari adalah hari-hari yang kita kenal, yaitu hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Ahad. 

Dan kesimpulan itu jelas bukan mengada-ada, karena didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad berikut : 

خَلَقَ اللَّهُ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ، وَخَلْقَ الْجِبَالَ فِيهَا يَوْمَ الْأَحَدِ، وَخَلْقَ الشَّجَرَ فِيهَا يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ، وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ، وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَخَلَقَ آدَمَ بَعْدَ الْعَصْرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ آخِرَ الْخَلْقِ، فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ

Allah SWT menciptakan tanah pada hari Sabtu. Menciptakan gunung pada hari Ahad. Menciptakan pepohonan pada hari Senin. Dan menciptakan almakruh di hari Selasa. Menciptakan cahaya di hari Rabu. Dan menebar di bumi makhuk melata di hari Kamis. Menciptakan makhluk terakhir yaitu Nabi Adam alaihissalam bakda Ashar di hari Jumat. Pada saat-saat terakhir pada hari Jumat yaitu antara Ashar dan malam. (HR. Ahmad)

Tentu saja tafsir klasik seperti ini agak sulit diterima oleh logika kita yang terlanjur menyakini pembagian enam periode masa. 

Pertanyaan paling mendasar adalah bagaimana mungkin Al-Quran menyebutkan bahwa bumi dan langit diciptakan dalam enam hari? 

Padahal kita mengenal kata 'hari' itu berdasarkan terbit dan terbenamnya matahari, lalu ada siang dan malam. Kalau bumi dan matahari serta perputaran siang dan malam itu belum ada, bagaimana kita mendefinisikan enam hari? Tentu tidak masuk akal, bukan?

Sebagian ahli tafsir klasik seperti Mujahid dan riwayat Adh-Dhahhak yang konon bersumber dari Ibnu Abbas, mengusulkan bahwa 6 hari yang dimaksud itu dikaitkan dengan enam hari di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut :

وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. Al-Hajj : 47)

Upaya ini bisa diacungi jempol dan sebenarnya boleh juga. Tetapi apa benar bahwa proses penciptaan bumi dan langit itu berarti 6.000 tahun atau 60 abad saja?

Para ahli sains modern agak keberatan kalau dikatakan bahwa usia bumi ini hanya baru 60 abad saja. Sebab hitungannya secara sains tidak kurang 13 milyar tahun lebih. 

NOTE 

Tentu saja saya tidak akan menggiring pembaca untuk mengikuti maunya saya. Saya tidak berkepentingan untuk mengarahkan ikut tafsir modern yang bilang enam masa, sebagaimana juga tidak punya keperluan untuk menggiring ke arah tafsir klasik yang bilang enam hari. 

Contoh ini sekedar memberi ilustrasi saja, begitulah yang namanya tafsir, sebagaimana juga ranah ilmu fiqih, ternyata sarat juga dengan berbagai mazhab dan perbedaan. 

Sudah segitu saja. Jangan lupa bahagia . . .

Baca Juga

Komentar