Ust Ahmad Sarwat LC MA
Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu selalu dijadikan oleh para hakim agama di Pengadilan Agama dalam memutuskan masalah para pihak yang berseteru.
Namun sekedar untuk diketahui, KHI sendiri itu bukan Undang-undang, melainkan Instruksi Presiden (INPPES). Ditetapkan oleh Presiden Soeharto dengan Inpres no. 1 tahun 1991.
Ada untung dan ruginya dengan ditanda-tanganinya KHI oleh Presiden. Di satu pihak, hukum Islam yang selama ini hanya ada di dalam kitab-kitab fiqih, kemudian diakui secara formal dan diadaptasi menjadi hukum positif di negeri kita.
Ruginya karena ternyata ada pasal-pasal yang bersebarangan dengan hukum Islam itu sendiri.
Pihak-pihak yang selama ini mengusung ditegakkannya hukum Islam terbelah dua. Sebagian merasa bersyukur karena perjuangan menitipkan hukum Islam ke dalam hukum positif di negeri kita sedikit demi sedikit telah mulai membuahkan hasil.
Namun sebagian lainnya justru merasa sedikit terganggu. Sebab kalau ditelisik lebih dalam, rupanya KHI itu sendiri tidak sepenuhnya murni hukum Islam. Atau setidaknya, tidak 100% seperti yang kita pelajari di dalam kitab-kitab fiqih yang sudah muktamad.
Di dalamnya ada setidaknya tiga pasal yang bermasalah. Dan ini menjadi titik perbedaan pandangan, apakah keberadaan KHI ini patut disyukuri atau malah jadi sumber keresahan.
oOo
Tentu setiap orang bisa punya penilaian yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mana dia melihatnya. Dan perbedaan itu wajar saja, karena memang begitulah dinamika semua produk undang-undang dan sejenisnya. Pasti ada pro dan kontra.
Buat saya pribadi, sebagai penulis kitab fiqih dan juga aktif mengajar ilmu fiqih klasik, tiga pasal di KHI itu memang jadi semacam kerikil di dalam sepatu.
Sepatunya kita butuhkan untuk bisa berjalan dengan nyaman, melindungi kaki kita dari bebatuan atau benda-benda tajam. Intinya kita perlu sepatu.
Tapi kita semua tahu apa rasanya pakai sepatu yang didalamnya kemasukan kerikil. Selain sakit, tidak enak, tentu kerikil itu bisa melukai kita.
oOo
Lalu pasal mana saja yang jadi 'kerikil' dalam sepatu?
Setidaknya ada tiga pasal, yaitu [1] Pasal 96 Tentang Harta Gono-gini, [2] Pasal 185 Tentang Ahli Waris Pengganti dan [3] Pasal 211 Tentang Hibah Waris.
1. Pasal 96 Tentang Harta Gono-gini
Di ayat satu KHI disebutkan :
"Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan."
Yang jadi masalah dalam pasal ini karena bertentangan dengan prinsip pernikahan dalam Ilmu Fiqih Islam, bahwa suami dan istri masing-masing menjadi pemilik harta sendiri-sendiri dan harta mereka tidak otomatis melebur.
Sedangkan maunya pasal gono-gini, pernikahan itu membuat harta masing-masing itu melting, meleleh dan melebur jadi satu. Lalu dimiliki berdua dengan saham masing-masing fifty-fifty.
Jadi misalnya suami wafat, punya uang 10 milyar, maka hartanya harus dibagi dua terlebih dahulu dengan istri. Alasannya, pada harta suami itu terdapat hak istri sebesar 50 persen. Yang dibagi waris hanya 5 milyar saja, sedangkan sisanya 5 milyar lagi itu 'dianggap' haknya istri., tidak dibagi waris.
Sedangkan dalam ilmu fiqih Islam, tidak ada istilah melting atau melebur secara otomatis antara harta suami dan istri begitu menikah. Lain halnya kalau semasa hidupnya, suami memang 'menghibahkan' sebagian hartanya atau seluruh hartanya untuk istri.
Namun hibah itu harus dengan akad ijab kabul yang jelas, harus ada saksi atau setidaknya hitam di atas putih.
2. Pasal 185 Tentang Ahli Waris Pengganti
Dalam KHI dituliskan sebagai berikut :
"(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173."
"(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti".
Pasal ini juga jadi kerikil dalam sepatu, sebab anak yang sudah wafat duluan dari ayahnya, tentu sudah kehilangan hak waris.
Namun dalam versi KHI jadi lain. Anak yang sudah wafat duluan itu, kalau dia punya anak lagi, alias ada cucu, maka si cucu ini bisa
didaulat naik derajat menggantikan posisi ayahnya. Sehingga seolah-olah ayahnya itu belum wafat dan ikut menerima harta warisan dari sang kakek.
Cucu itu menggantikan anak yang wafat, begitu maunya KHI. Namun dalam ilmu fiqih Islam, hal semacam itu tidak sah.
Kalau pun mau memberi perhatian kepada cucu yang mana ayahnya meninggal duluan, ada cara lain yang benar dan syar'i. Msalnya lewat wasiat wajibah, dimana sang kakek diminta untuk memberikan hartanya kepada cucunya selagi masih hidup lewat jalur wasiat.
Atau bisa juga paman-pamannya memberi hibah kepada keponakan mereka. Dan ada banyak cara lainnya. Tapi yang jelas si cucu tidak perlu 'naik kelas' menggantikan posisi ayahnya.
3. Pasal 211 Tentang Hibah Waris
Dalam KHI dituliskan bahwa : "Hibah dari orang tua kepada anak dapat diperhitungkan sebagai warisan."
Pasal ini juga bermasalah dari segi fiqih. Karena harta yang sudah dihibahkan oleh orang tua ketika masih hidup kepada para ahli warisnya, bisa diangulir dan dianggap tidak sah.
Padahal dalam fiqih Islam, kalau sewaktu masih hidupnya dulu almahrhum pernah menghibahkan hartanya, ya sudah berarti harta itu sudah bukan lagi miliknya. Sebab sudah jadi milik pihak yang diberi hibah.
Bila almarhum wafat, maka harta yang dibagi waris hanyalah yang tersisa saja. Harta yang sudah dihibahkan tidak bisa dibagi waris, karena sudah bukan miliknya lagi.
Namun di KHI, semua ketentuan masalah hibah itu dirontokkan. TErmasuk juga dibatasi bahwa hibah itu hanya boleh maksimal 1/3 dari total harta.
Padahal yang dibatasi itu bukan hibah, melainkan wasiat.
oOo
Mereka yang belajar ilmu fiqih waris yang original pastinya akan paham betapa banyaknya penyimpangan dalam KHI.
Namun mereka yang tidak pernah belajar secara mendalam, atau mungkin menganggap ilmu fiqih itu boleh diacak-acak seenaknya, boleh jadi akan berpendapat bahwa KHI baik, bagus, sesuai dengan perkembangan zaman dan bla bla bla.
Apalagi kalau membaca sejarahnya secara kurang cermat, pasti akan mengatakan bahwa isi KHI itu tidak ada cacatnya, karena mengacu kepada 13 kitab fiqih utama, yaitu :
1- Hasyiyah Al-bajuri
2- Fathul Mu'in
3- Al-Syarqowi 'ala al-Tahrir
4- Hahsyiyah Qalyubi
5- Fathul-Wahhab dengan syarahnya
6- Tuhfah al-Muhtaj
7- Targhibul-Musytaq
8- Al-Qawanin al-Syar'iyah li Sayyid Utsman bin Yahya
9- Al-Qawanin al-Syar'iyah li Sayyid bin Saqadah Dahlan
10- Al-Syamsuri fi al-Faraidhi
11- BughyatuI Musytarsyidin
12- Al-fiqhu 'ala al-Madzahib al-'Arba'ah
13- Mughni al-Muhtaj.
Padahal meski sudah mengacu kepada 13 kitab itu dan sudah dapat bahan-bahan utama dari para ulama di masa lalu, tapi dalam proses berikutnya dimasukkanlah anasir-anasir lain di luar fiqih Islam.
Bisa saja meniru dari hukum Belanda, atau kadang juga melihat realitas hukum-hukum adat yang berlaku di nusantara. Maka tidak heran kalau dari namanya saja sudah menggambarkan campur-aduknya sumber hukum, yaitu KOMPILASI.
Saya jadi ingat istilah album lagu kompilasi, isinya campur aduk lagu dari berbagai penyanyi, sesuai dengan selera dan pilihan pendengar.
Bedanya, kalau urusan lagu, tidak mengapa kalau kita melakukan kompilasi. Namanya juga selera bermusik. Tiap orang boleh dong beda-beda.
Tapi kalau perkara hukum syariah, bagaimana kita melakukan kompulasi hukum fiqih dengan hukum dari barat dan dari adat yang secara head-to-head saling bertabrakan?
Bertabrakan?
Bertabrakan hidung dengan hidung. Ibarat dua lokomotif tabrakan di satu rel yang sama dengan kecepatan yang tinggi.
oOo
Usulan
Saya mengusulkan dua langkah dalam hal ini.
Pertama, jangan lihat KHI dan pelajari saja ilmu fiqih Islam yang benar. Kita perbanyak kajian-kajian fiqih mawaris dimana-mana secara viral dan rutin, biar seluruh umat Islam paham hukum fiqih mawaris.
Sehingga tidak perlu ada urusan sengketa waris dalam satu keluarga. Ibarat covid-19, usahan prokes jangan sampai tertular. Kita pakai masker, jaga jarak, cucu tangan, hindari kerumunan dan vaksin.
Intinya hindari bersengketa waris di Pengadilan Agama, biar tidak terbawa-bawa hukum KHI. Kalau mau bersengketa, secara kekeluargaan saja secara internal. Undang saja guru fiqih yang paham bab waris.
Kedua, ke depannya nanti KHI ini perlu diug-grade lagi dengan dibooster pakai kajian fiqih Islam. Lalu pasal-pasal bermasalah yang ibarat kerikil dalam sepatu mulai dikembalikan ke format fiqih Islam aslinya.
Ketiga : Kalau bisa, kenapa tidak dirancang saja draft Undang-undang Hukum Waris di Indonesia. Bukankah sudah waktunya kita masyarakat muslim mengesahkannya.
Undang-undang Perkarwinan dan Zakat sudah ada, tapi kenapa untuk masalah waris, kita masih terus bertahan dengan produk hukum sekelas Instruksi Predisen tahun 1991.
Sudah waktunya kita berbenah, para sarjana ahli fiqih kita banyak sekali. Ayo kita ajak mereka ikut menuliskan draft undang-undang hukum waris. Kalau perlu anggota DPR yang nanti akan ikut mengesahkan juga diikutkan pelatihan waris sesuai fiqih Islam.
Komentar
Posting Komentar