Oleh Gus Rijal Mumazziq Z
1. Kecerdasan/IQ. Ini melekat pada pribadi para santri yang memang sudah cerdas sejak bayi. Tinggal dipoles. Jadi.
Rasulullah, sebagai pendidik, dengan cermat menyesuaikan gaya mendidik beliau dengan kecerdasan dan potensi para sahabat.
Beliau pembaca karakter manusia yang kece. Mengkader Zaid bin Tsabit yang punya kecerdasan matematis dan linguistik menjadi ahli al-Qur'an, ahli faraid, seorang poliglot, juga sekretaris beliau.
Mengkader Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Mu'adz bin Jabal, Abdullah Ibn Umar, Abdullah Ibn Mas'ud sebagai pakar fiqih, juga mempersiapkan Abdullah Ibn Abbas sebagai ahli tafsir. Tak lupa mengkader para sahabat lain yang memiliki kecerdasan visual dan ingatan fotografis seperti Ummul Mu'minin Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Jabir bin Abdullah, dll., sebagai periwayat sabda-sabda beliau. Bisa kita cermati, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh beliau-beliau ini biasanya detail, sangat detail, lantaran ingatan fotografis yang dimiliki oleh para mereka.
2. Sebab kesolehan orangtua. Ada beberapa orang yang menjadi ulama lantaran tirakat orangtuanya. Ayah ibunya bukan orang berilmu, tapi ahli ibadah. Dan lantaran itu Allah menjadikan anaknya seorang ulama. Imam al-Ghazali, Imam Al-Halwani, Syekh Mutawalli Asya'rawi KH. Djazuli Usman, KH. Bisri Musthofa, dll, juga banyak nama lain adalah bukan lahir dari keluarga kiai, melainkan dari kalangan biasa yang memiliki kecintaan kepada ilmu dan orang berilmu. Dan, orangtua beliau-beliau adalah orang soleh.
3. Riyadlah. Usaha keras seorang santri dalam menjalani lelaku mencari ilmu. Hambatan diatasi, tantangan diselesaikan, dan pembelajaran dilaksanakan dengan tekun. Kata KH. Anwar Mansur, Lirboyo, kuncinya ada 3 faktor: gurunya tekun dan telaten mengajar, orangtuanya rajin mendoakan dan mendukung anaknya, serta anaknya juga mempeng/sregep.
4. Mushohabah alias bergaul, membersamai dan mendampingi keseharian guru. Dari situ, seorang murid akan bisa merasakan sentuhan emosional, intelektual, dan spiritual dari gurunya. Juga bisa melihat karakteristik gurunya dari dekat secara manusiawi, serta bisa belajar bagaimana gurunya melayani umat, mengajar, beribadah, bahkan berumahtangga.
Beberapa abdi ndalem, yang menjadi juru laden kiainya, lebih mudah futuh lantaran mushohabah, dibandingkan dengan sosok yang menyibukkan diri dalam tugas akademik dan berkutat pada teks. Itu lantaran interaksi keseharian dengan gurunya membuat dirinya hadir dalam konteks, bukan teks saja.
Dalam beberapa kejadian, keempat faktor di atas bisa melekat pada satu sosok. Cerdas, punya orangtua saleh, tekun belajar, dan dengan rendah hati membersamai gurunya. Klop.
****
(Rijal Mumazziq)
Komentar
Posting Komentar