Ust Abdul Wahab Ahmad
Tidak ada satu pun hadis (bahkan yang lemah sekali pun), atsar sahabat, dan satu pun pendapat ulama terdahulu yang memulai puasa ketika hilal masih nol derajat. Tidak ada satu pun. Pendapat semacam ini melanggar semua kesepakatan sehingga syadz (nyleneh).
Sekali lagi, ini bukan soal pilih mana antara hisab atau rukyat sebab semua pihak sudah pakai rukyat. Ini tentang kriteria hisab yang sama sekali tidak ada dasar hukumnya dan menentang banyak hadis yang sahih dan sharih serta tidak pernah diwacanakan oleh satu pun ulama muktabar sejak awal Islam. Saya sudah menulis panjang lebar kajian hadis-hadis yang sengaja diabaikan oleh kawan-kawan Muhammadiyah dalam beberapa seri tulisan pada Ramadhan lalu, silakan dibaca di sana bila belum mengerti.
Para ulama hanya berselisih ketika hilal sudah tinggi sehingga seharusnya terlihat tetapi kebetulan tidak terlihat karena terhalang awan. Dalam konteks inilah kebanyakan memilih mengikuti instruksi Nabi untuk menggenapkan jumlah hari menjadi 30 dan beberapa ulama memilih menggunakan hisab. Tapi tidak ada satu pun yang berfatwa boleh puasa saat hilal sama sekali tidak mungkin terlihat sama sekali.
Jangan sampai hadis shumu liru'yatihi diganti dengan shumu liwujudihi. Ini bid'ah yang nyata. Bukankah kita semua harus ikut dalil sahih dan qaul yang rajih? Wahai kawan, di mana kegigihan untuk ikut dalil itu dalam konteks ini? Di mana pula kegigihan untuk melawan bid'ah dan khurafat itu dalam kasus puasa saat hilal nol derajat ini?
Saya menulis ini bukan untuk cari ribut, bukan juga untuk merendahan orang-orangnya secara pribadi, bukan pula karena saya tidak mengerti toleransi atau tidak paham bahwa fikih adalah tempat perbedaan. Tapi tatkala hampir semua orang merasa "tidak enak hati" untuk bicara, harus ada yang tetap objektif menyampaikan amanat ilmu apa adanya. Dalam banyak referensi disebutkan bahwa pendapat syadz dalam fikih tidak boleh diikuti dan bukan pada tempatnya untuk ditolerir.
Komentar
Posting Komentar